Aku tersentak mengutuki Eropa setelah kubaca sebuah novel berjudul “Bumi Manusia” oleh Pramoedya. Meski tak nyata tokohnya, namun gambaran kehidupannya jelas adanya sebagaimana ketika Belanda datang dan menguasai tanah-tanah Nusantara, membangun pabrik, membentangkan perkebunan dan mendirikan pemerintahan “ala” mereka. Tidak ada keadilan, sedikit pun tidak, terutama bagi kaum-kaum tertindas, kaum pribumi, sang pemilik asli negeri. Kini mereka telah pergi, kita berdiri sendiri, merdeka sebagai sebuah bangsa, sebuah negeri.
Lalu apakah sebenarnya kemerdekaan negeri ini, apakah sebenarnya hanya pemindahan kekuasaan dari tangan Belanda menuju “penguasa” dalam negeri? Ketika, para pengusaha dari luar pulau datang ke Kalimantan dan membabat habis hutan mereka. Para pengusaha ini adalah orang Indonesia asli, namun bukan anak Kalimantan. Anak Kalimantan tetap tak banyak menerima manfaat dan hanya bisa melihat pohon-pohon besar yang sudah tumbuh sejak leluhurnya lahir, bertumbangan dan jatuh oleh mesin-mesin besar.
Mereka tetap miskin dan kurang pendidikan, meskipun begitu banyak janji-janji manis pemerintah di lontarkan. Para politisi dan pejabat negara memiliki kekayaan yang luar biasa diatas mereka, menikmati betul nikmatnya menjadi “penguasa”. Janji-janji kejayaan hanya digunakan sebagai umpan bagi suara dalam pemilu, begitu mudahnya mempermainkan demokrasi jika masyarakat saja tak mengerti betul apa artinya semua itu. Mereka tak tahu menahu tentang politik, hanya mencoblos foto-foto orang yang memberikan uang bagi mereka. Mereka dikemudikan oleh acara-acara televisi, pencitraan-pencitraan yang disajikan manis sekali. Mereka bodoh dan dikendalikan oleh palsunya pencitraan, mereka sudah tidak merdeka sejak dalam pemikiran.
Lalu banyak juga yang terlelap dalam dongeng-dongeng kerajaan masa lalu. Mereka mengira raja-raja masa lalu begitu megahnya, diceritakan dari mulut ke mulut oleh kakek neneknya. Padahal, bukan kurang mengerikannya jaman para raja-raja, ketika rakyat bahkan tak bisa memiliki seorang istri yang cantik jelita, karena jika hanya terlihat saja oleh raja, dia berhak kapan saja merampasnya. Penjajahan yang bahkan bisa bertahan ratusan tahun lamanya, diwariskan pada darah yang sama dari satu generasi ke generasi lainnya.
Lalu sampailah aku pada arti penjajahan sebenarnya, bahwasanya penjajahan akan selalu ada ketika ada pihak yang menindas pihak-pihak lain dan merebut kemerdekaan darinya. Bahwasanya perjuangan kemerdekaan bukan terbatas tentang negara apa yang berdiri dan batas wilayahnya. Namun, tentang menegakkan keadilan seadil-adilnya sesuai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H