Mohon tunggu...
Ario Ganes Woro
Ario Ganes Woro Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggali Nilai dari Kain Bumi Ruwa Jurai

13 Desember 2014   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:23 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sang Ruwa Jurai adalah sebuah semboyan yang dimiliki oleh provinsi bagian paling selatan pulau Sumatera, yaitu Provinsi Lampung. Bagi masyarakat Lampung sendiri Sang Bumi Ruwa Jurai menjadi pemersatu diantara dua kelompok masyarakat adat Lampung. Kedua kelompok adat tersebut adalah masyarakat adat Saibatin dan masyarakat adat Pepadun,sedangkan untuk semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri artinya adalah “Bumi Yang Dua Dalam Kesatuan.” Selain semboyan itu, ada sebuah semboyan lagi yang berbunyi “Lampung Bertapis Helau” yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya “Lampung Bertapis Indah”. Karena memang pada kenyataannya keindahan kain tapis begitu mempesona hingga mancanegara.

Tapis adalah salah satu kerajinan tradisional sekaligus menjadi pakaian adat yang sangat khas bagi Provinsi Lampung. Kain tapis ini biasanya dibuat dalam bentuk kain sarung yang terbuat dari tenunan benang kapas yang kemudiandiberi motif atau hiasan dari bahan sugi, benang emas, ataupun benang perak. Motif yang dibuat biasanya berupa motif alam, flora maupun fauna. Kain tapis ini sangat tradisional dikarenakan semua peralatan yang dipakai dalam proses pembuatan kain dasarnya atau motifnya masih sederhana dan dikerjakan secara manual oleh pengrajin. Sedangkan pengrajinnya sendiri adalah para wanita suku Lampung, baik itu ibu rumah tangga maupun gadis suku Lampung (gadis dalam suku Lampung disebut “Muli” sedangkan bujangnya disebut “Mekhanai”). Pada awalnya mereka menenun hanya untuk mengisi waktu luang mereka sekaligus memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral.

Kain tapis ini digunakan dalam berbagai upacara adat seperti upacara pernikahan, upacara pengambilan gelar adat Lampung, penyambutan tamu agung dan beberapa upacara adat Lampung lainnya yang mengharuskan orang yang akan menghadirinya mengenakan tapis. Kain adat khas Provinsi Lampung ini jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), kerjasama, ekonomi, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan upacara. Tapis bagi masyarakat Lampung merupakan simbol kesucian yang diyakini dapat melindungi pemakainya dari segala macam kotoran. Nilai kesakralan juga dapat dilihat dari bentuk motifnya yang mengandung makna simbolis-filosofis sehingga ada aturan-aturan tertentu mengenai waktu pemakaian, siapa yang membuat, dan siapa saja yang boleh memakainya berdasarkan status sosialnya dalam masyarakat. Jadi, tapis juga berfungsi sebagai penanda status sosial seseorang. Artinya, hanya dengan melihat kain tapis yang dikenakan, maka orang lain dapat mengetahui dari kelompok sosial mana si pemakai berasal. Dan, bila seseorang memakai tapis yang tidak sesuai dengan statusnya akan mendapat sanksi berupa teguran atau denda adat dari anggota masyarakat lainnya.

Nilai keindahan dan kreativitas tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Kekayaan alam Bumi Ruwa Jurai ini sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekali pun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, tapis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam tapis Lampung pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan, motif geometris dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris. Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif.

Nilai kerjasama tercermin dari proses pembuatan tapis itu sendiri. Untuk dapat menghasilkan sehelai tapis secara utuh tidak dapat dilakukan oleh seorang individu saja, tetapi harus bekerja sama dengan orang lain agar tidak memakan waktu lama. Misalnya, ada yang bekerja membuat benang, membuat motif dan ragam hias, menenun kain, dan ada pula yang menyulam ragam hiasnya.

Nilai ekonomi tercermin dari pergeseran fungsi dan bentuk fisik tapis untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dahulu tapis dibuat dalam bentuk kain sarung dan dipakai sendiri untuk keperluan-keperluan adat. Saat ini tapis dapat menjadi tas, dompet, baju, dan lain sebagainya yang bernilai ekonomis (untuk diperjual belikan).

Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun tapis yang indah dan sarat makna. (http://uun-halimah.blogspot.com/2010/05/tapis-lampung.html)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun