Beberapa waktu yang lalu sempat menjadi topik obrolan salah satu kawan saya di sebuah warung kopi. Benar, tentang Fetish dan fenomena sosial yang semakin lucu dan absurd. Tentu hal ini termasuk dalam pelanggaran hukum. Tapi mari kita ulik kelucuan yang menyelinginya. Gilang akrab dipanggil oleh warganet seorang mahasiswa dari Universitas Airlangga angkatan tahun 2015.Â
Gilang ini tentunya memiliki kelainan moral yang dipengaruhi oleh budaya tempat ia berasal. Mungkin juga karena asupan liberalitas yang tidak saring terlebih dahulu atau bagaimana. Tapi ini benar lucu.Â
Maafkan saya, tapi ide membungkus korban dengan kain jarik berkedok penelitian adalah hal terabsurd yang sampai saat ini membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak.Â
Bahkan bagi pemikir kelas dunia, misalnya adalah Sigmund Freud yang bergelut pada fenomena psikologi sosial tidak pernah melakukan penelitian semacam itu. Tapi tentu ini adalah hal baru yang lucu sekaligus absurd.
Korban pada awalnya ditawari sejumlah uang untuk membantu jalannya penelitian tersebut tapi berujung pada pelecehan seksual. Ini lucu. Awalnya juga pada korban maupun pelaku. Korban seharusnya sudah sadar, bahwa penelitian semacam itu tentunya tidak lazim dan tidak memiliki andil khusus dalam dunia pendidikan.Â
Baca:Â Dilematis Paham Rasionalisme dan Paham Saintisme
Gilang sampai saat ini masih belum ditemukan dan ini lucu. Korbannya kebanyakkan adalah mahasiswa baru. Secara logika deduktif manapun hal ini tidak masuk akal.Â
Alih-alih membantu penelitian. Mahasiswa baru terlalu berekspetasi tinggi terhadap hubungan relasi di dunia kampus. Mungkin hal ini bisa digunakan sebagai sebagian referensi untuk dunia perospekan yang akan datang dalam beberapa bulan mendatang.
Tentu budaya primordial tidak bisa dihapus begitu saja. Karena kebanyakan setuju bahwa budaya semacam itulah yang membentuk mental mereka sekuat baja atau apapun itu.Â
Secara tidak kita sadari kitalah yang menciptakan orang-orang dengan perilaku yang menyimpang seperti itu. Bagaimana para mahasiswa yang lebih senior semestinya menanamkan ideologi tersebut secara berkala bukan dengan sendok semen atau apapun itu.Â
Meskipun hal ini baik untuk perkembangan motorik, tapi entitas dan kapasitas yang dimiliki untuk menyalurkan hal tersebut masih sangat minim. Hal ini berkaitan langsung dengan pelampiasan sosial yang dimotori oleh imaji pelaku itu sendiri. Mungkin hal ini akan membawa angin segar. Setelah kasus Reyhard Sinaga. Sudah semestinya ini menjadi salah satu tolak ukur dalam pemetaan pendidikan dan internalisasi budaya yang lebih baik dan bermutu.Â
Artikel lainnya:Â Seperti Roda Berputar