Seusai teraweh pada bulan ramadhan anak-anak di daerahku biasanya suka bermain dengan sandal pak kyai. Sekedar ingin ditegur oleh pak kyai atau bagaimana, tapi yang ada disana memang gelak tawa dan kengelamakan yang serupa kulakukan sewaktu seumuran dengan mereka.Â
Kebetulan jalanan sedang sepi. Mungkin karena itu-lah pikiran melayang pada nostalgia dan hal-hal yang biasa dilakukan semasa ramadhan.Â
Dalam waktu dekat hari raya Idul Adha akan datang. Tentunya hari tersebut adalah hari yang menggembirakan. Meskipun bau yang berserakan juga tak kalah menggembirakannya.Â
Tapi kesampingkan terlebih dahulu perihal baunya. Hari yang sekarang dinamakan dengan peristiwa Idul Adha dulunya diawali oleh perintah yang diberikan gusti pada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri.
Hari ini kita mengenalnya dengan peristiwa hari raya besar Idul Adha. Sedikit halnya beberapa bulan yang lalu atau tepatnya semester yang lalu ketika awal masuk kampus.Â
Buku-buku yang diperkenalkan adalah buku-buku filsafat dari barat. Kebanyakkan dari abad Yunani. Mulai dari Socrates yang dipaksa bunuh diri dengan meminum racun oleh kalangan setempat. Hingga bagaimana ilmu-ilmu itu telah meracuni pola berpikir yang tidak konsisten di berbagai peristiwa.
Bacaan buku filsafat saya masih dangkal. Tapi ada suatu hal yang ingin saya bagikan disini. Yaitu tentang falsafah yang menurut saya jauh lebih canggih daripada falsafah barat. Yaitu falsafah Jawa.Â
Sebagian orang akan terlalu asyik dengan nama-nama barat hingga lupa dengan nama-nama yang jika disebutkan tidak terlalu keren untuk telinga.Â
Mungkin hal itulah salah satu alasan mengapa diskusi-diskusi di dunia kampus lebih sering menggunakan sudut pandang dari filsafat barat. Ada kelucuan lainnya. Sedikit intermezzo.Â
Mengapa diskusi lebih banyak dilakukan di warung kopi dan di luar ruangan yang dapat dikatakan tidak memiliki atmosfer literasi yang dominan. Padahal literasi berada di perpustakaan. Sedikit kelucuan yang saya temukan di sela-sela batang rokok yang tinggal sedikit.