Konsekuensi dari menjadi wakil rakyat. Stigma yang melekat. Budaya yang rancu.Â
Kompensasi menjadi wakil rakyat. Benefit hidup enak terjamin.
Tapi nampaknya untuk orang-orang yang menggeluti bidang kesusasteraan menjadi wakil rakyat adalah sebuah penistaan. Sangat disayangkan sekali. Kebetulan saya adalah orang yang hobi dengan bidang kesusasteraan.Â
Yang pertama dan kedua menjadi wakil rakyat menurut opini saya pribadi sudah sangat ideal. Mengingat budaya yang agak brengsek dari calon mertua menganggap bahwa wakil rakyat adalah pekerjaan yang ideal dan setidaknya untuk jangka panjang dapat merasakan hidup yang tidak terlalu susah apalagi sampai melarat.
Semoga saja calon mertua saya tidak membaca tulisan ini, karena saya akan masuk dalam daftar blacklist-nya haha. Dari kesemua hal yang saya sebutkan diatas mungkin para kompasianer juga sempat mendengar berita yang berseliweran beberapa waktu lalu.Â
Perihal Tina Toon yang menjadi headline diberbagai media dengan "Uneg-uneg"-nya. Sebenarnya saya satu suara dengan Tina Toon. Apalagi jika suatu hari nanti dapat mempersunting wanita mapan dan ideal seperti itu.Â
Sialnya dari masyarakat tidak sedikit yang menganggap bahwa Tina Toon hanya mencari sensasi semata. Mungkin hal inilah yang akan menjadi makanan sehari-hari para wakil rakyat diberbagai daerah. Meskipun hal ini bukanlah hal yang baru, tapi situasi seperti terjadi dan berulang dalam waktu-waktu tertentu.
Sudah semestinya dunia pendidikan mendapat teguran keras seperti itu--tapi masih jauh lebih keras Pak Dhe Jokowi. Sebagai mantan pelaku entertaiment konsekuensi tindakannya tersebut menjadi hal yang sangat mafhum. Jauh hari sebelum itu tidak sedikit orang-orang mantan pelaku entertaiment yang mendapat ganjaran serupa.
Tapi menjadi pelaku entertaiment apalagi sampai menjadi wakil rakyat yang mapan sepertinya cukup ideal dengan kondisi ekonomi nasional saat ini. Aih~Â
Baca Artikel Lainnya :