"Jangan menangis"
"Hiks hiks"
"Sudahi dulu air matamu yang menetes sedari tadi itu"
"Ta,tapi yah..."
Prakoso terlelap dipangkuan Ayah, dibalik kelopak mata yang sedikit terbuka mata polos itu menyimpan sejuta angan yang mungkin hanya menjadi angan. Mereka berada di ruang tengah, duduk di sebuah dipan terbuat dari rotan cukup tua yang menghadap pintu masuk rumah.
Ayah berbicara dengan dirinya sendiri
"Hari terus saja berganti, namun tiap hari makin tak karuan. Andai saja dulu aku tak menceraikan Sartini karena amarah yang datang entah dari mana sial!"
Ia menggendong Prakoso ke kamarnya, tubuh mungil tertidur lemas dengan perut yang meraung meminta materi untuk diserap intisarinya. Mengingatkan akan dirinya sendiri di usia yang sama, sebuah siklus yang harusnya putus saat dirinya beranjak dewasa.
Ia keluar dari rumah. Rumah yang ada diantara pepohonan menyala diantara kegelapan!
"Keadaan ini sungguh biadab, tak bisa dibiarkan terus menerus. Anakku harus sekolah, anakku harus mengenyam bangku pendidikan"
"Sistem pendidikan yang kurang matang ditawarkan setengah-setengah alhasil diterima hanya sepersekian persen manfaatnya. Hanya selembar kertas untuk bukti pernah mengenyam ilmu, apa hanya tanda jadi?"