Mengurus visa ke Saudi termasuk paling susah. Saya pernah menuliskannya di Kompasiana untuk urusan visa kerja. Di Saudi ada empat jenis visa: visa haji, visa umrah, visa kerja dan visa kunjungan keluarga. Pemegang visa haji dan umrah hanya boleh berwisata di sekitar Jeddah, Mekkah dan Madinah. Sementara pemegang visa kunjungan keluarga bebas berkunjung kemana saja layaknya turis, termasuk untuk melaksanakan ibadah umrah.Â
Tapi visa jenis ini harganya mahal. Saya pernah bertemu keluarga dari Malaysia yang kedatangan orang-tuanya, kabarnya biaya visanya saja mencapai 2500-3000 riyal per orang. Lagi pula yang disebut keluarga itu sebatas garis keturunan vertikal (anak-anak dan ayah-ibu), tidak berlaku untuk saudara kandung, apalagi sekedar teman.
Nah, penguasa baru Saudi dibawah Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammad bin Salman mempunyai 'Visi 2030' yang intinya akan mengurangi ketergantungan ekonomi Saudi kepada minyak bumi dan gas. Salah satu sektor yang akan jadi andalan adalah pariwisata yang selama ini terabaikan, sebatas aktivitas sampingan para jama'ah haji dan umrah di sekitar Makkah, Madinah dan Jeddah. Maka beberapa minggu atau bulan terakhir kita dengar dibuka kesempatan permohonan visa turis.Â
Sayangnya ketentuan ini hanya berlaku untuk 49 negara. Boleh ditebak, Indonesia tidak termasuk didalamnya. Secara garis besar, hanya warga negara-negara 'besar' boleh mengajukan permohonan visa turis, misalnya Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropa, Jepang, dan lain-lain, termasuk Malaysia! Peraturan baru terus bergulir kearah mempermudah pengurusan visa ke Saudi, diantaranya: warga diluar 49 negara tersebut boleh memohon visa turis kalau dia mempunyai visa tinggal di salah satu negara 'besar' tadi, misalnya karena sedang studi atau memang bekerja di negara itu.
Ceritanya, anak saya yang nomor tiga saat ini sedang bersekolah di Jerman. Jadi saya minta dia mengurus visa turis secara online, yang jauh lebih mudah dan murah daripada visa kunjungan keluarga yang urusannya rumit, mahal, dan makan waktu lama. Kendala pertama muncul setelah selesai registrasi, bayar biaya registrasi, asuransi dan visa, total 400 riyal lebih. Ternyata yang boleh datang sebagai turis ke Saudi hanya mereka yang usianya diatas 30 tahun. Agak aneh juga kenapa yang usianya dibawah 30 tahun dilarang berwisata ke Saudi. Tapi jangan harap pertanyaan ini akan terjawab.
Oleh karena itu kami terpaksa kembali ke 'visa kunjungan keluarga'. Mulailah saya mengurus 'surat undangan' ke anak saya di Jerman. Untuk itu perlu akte kelahiran sebagai bukti hubungan darah. Karena akte kelahiran itu berbahasa Indonesia perlu diterjemahkan ke bahasa Arab.Â
Saya berkeliling Riyadh mencari biro penerjemah bersumpah, kebanyakan hanya melayani terjemahan dari bahasa Inggris, Perancis, atau Jerman, ke bahasa Arab. Tidak ada satupun yang melayani terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab. Jadi akte kelahiran itu saya terjemahkan di biro penerjemah bersumpah di Jakarta. Hasil terjemahan dikirim dengan email, kemudian  saya bawa ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Riyadh, untuk dimintakan pengesahan (legalisir).
Jauh-jauh saya datang ke KBRI Riyadh, membelah pusat kota Riyadh yang seringkali macet, ternyata KBRI tidak bisa melakukan pengesahan. Menurut petugas disitu, dokumen apapun kalau dibuat di Indonesia, pengesahan harus dilakukan di Indonesia juga melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).Â
Tidak mungkin saya pulang ke tanah air hanya untuk keperluan legalisir itu, dan saya kebetulan sedang tidak ada teman atau saudara yang bisa dimintai tolong mengurusnya. Kalaupun ada dan bisa, prosesnya perlu waktu paling sedikit seminggu, ditambah pengiriman dokumen dari Jakarta ke Riyadh, waktunya tidak cukup. Akhirnya saya pasrah saja, terjemahan tanpa legalisir. Mudah-mudahan sudah cukup memenuhi syarat.
Saya perlu mengisi aplikasi 'surat undangan' untuk anak saya di website Kemenlu Saudi yang sepenuhnya dalam bahasa Arab. Jadi saya harus minta tolong teman orang Mesir untuk mengerjakannya. Berbekal bukti aplikasi itu saya melanjutkan prosesnya di universitas tempat saya bekerja, dilampiri fotokopi paspor saya, paspor anak saya, akte kelahiran asli dan terjemahan, dan iqama (KTP Saudi). Syukur alhamdulillah, terjemahan akte kelahiran tanpa legalisir dari KBRI itu bisa diterima, dan 'surat undangan', mungkin boleh disebut sebagai 'calling visa', terbit dua hari kemudian. Selanjutnya surat itu saya kirim ke anak saya di Jerman.
Di Jerman ada dua perwakilan pemerintah Saudi, Kedutaan di Berlin dan Konsulat di Frankfurt. Tapi visa Saudi itu tidak boleh diurus sendiri, harus melalui agen, dan agen yang di Frankfurt itu selalu penuh, tidak ada slot kosong untuk membuat temu janji. Untuk 'memotong antrian' kita harus membayar tambahan 100 euro diluar biaya pembuatan visa. Sementara agen yang di Berlin itu nyaris kosong. Jadi anak saya memilih pergi ke Berlin, sekalian jalan-jalan, sekalipun jaraknya lebih jauh.