Mohon tunggu...
Arinta Trulyana
Arinta Trulyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - sabar

Jaga hubunganmu dengan Tuhanmu, Niscaya Tuhanmu yang akan Menjaga Kehidupanmu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan UU No 1 Tahun 1974 Jo UU No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Serta Praktiknya dalam Masyarakat

18 Desember 2021   16:50 Diperbarui: 18 Desember 2021   20:11 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Jakarta, pada tanggal 14 Oktober 2019 lalu Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo telah meresmikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Memang tidak  banyak perubahan dalam Undang-Undang tersebut, karena pada pokoknya hanya terdapat perubahan kebijakan tentang usia perkawinan. Undang-Undang sebelumnya (UU No. 1 Th 1974 tentang Perkawinan) menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan ketika wanita berusia 16 tahun dan bagi laki-laki minimal 19 tahun, akan tetapi setelah adanya perubahan atas undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perkawinan diizinkan ketika wanita dan laki-laki  sudah berusia sama-sama 19 tahun.  Artinya terdapat kenaikan usia perkawinan bagi wanita dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Undang-Undang Perkawinan (UUP) tersebut mulai berlaku setelah diundangkan Plt. Menkumham Tjahjo Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.

Memang perlu untuk diadakannya perubahan, karna berorientasi pada kemaslahatan manusia khususnya wanita.  Sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017  salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut adalah “Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak dasar atau hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, pendidikan, social dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi”.

Perbedaan usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, disana telah dicantumkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

ketentuan dalam Undang-Undang yang lama memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita, karena kontradiksi dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga hal tersebut memang harus dipertimbangkan guna menghindari ketimpangan hukum antara undang-undang perlindungan anak dengan undangundang perkawinan dimana perbedaan batas usia tersebut membuat anak-anak kehilangan hak-hak nya, dan tidak mendapatkan pengoptimalan dalam tumbuh kembangnya.

Pembentukan suatu undang-undang didalam suatu Negara diharapkan dapat menjadikan masyarakat dijamin kehidupannya dan juga masyarakat menjadi sejahtera dengan asas berkeadilan. Jika kita masih menerapkan aturan pasal 7 ayat (1) UUP No. 1 th 1974  besar kemungkinan yang terjadi malah sebaliknya. Ada 3 (tiga) landasan yang mempengaruhi alasan dibentuknya suatu Undang-Undang, landasan yang dimaksud yaitu:

  • Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
  • Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
  • Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Dengan adanya ketiga landasan tersebut sudah jelas bahwa adanya perubahan dari UU No. 1 Th 19 menjadi UU No. 16 Th 2019 disebabkan karena di dalam perkawinan menghendaki kematangan psikologis. Perkawinan dini sering menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan berumah tangga, karena kurangnya kesiapan mental dan masih belum masak jiwa raganya untuk membina rumah tangga sehingga tidak jarang terjadi pertengkaran, kesalah pahaman atau selisih pendapat antara keduanya sehingga menimbulkan perceraian. Dan juga penyakit yang lain misalnya kecemburuan yang berlebihan, tidak adanya komunikasi yang baik serta masalah dalam pengelolaan ekonomi, hal ini merupakan rangkaian resiko jika menikah dalam usia relatif muda.

Dengan adanya prubahan Undang-undang ini diharapkan mampu mewujudkan adanya rumah tangga yang Sakinah Mawadah Warohmah, dan meningkatkan kualitas dari anak-anak yang dilahirkan dari pasangan yang menikah dengan usia yang sudah dianggap matang, pemikirannya sudah dewasa, dan juga finansialnya sudah lebih baik. Pernikahan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul tanggungjawab. Begitu memutuskan untuk menikah, mereka siap menanggung segala beban yang timbul akibat adanya pernikahan, baik yang menyangkut pemberian nafkah, pendidikan anak, maupun yang berkait dengan perlindungan, pendidikan, serta pergaulan yang baik.

Pemerintah sudah mengupayakan sedemikian rupa untuk mewujudkan adanya kebijakan yang mensejahterakan masyarakat, serta agar tidak terjadi diskriminasi dibuktikan dengan adanya perubahan UUP tersebut. Diharapkan kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin. Persentase pengetahuan remaja tentang resiko menikah muda 51% remaja tahu tentang akibat menikah muda, namun masih ada 49% remaja yang tidak tahu.

Perubahan UUP ini terlebih terkait batas usia kawin serta implikasinya sangat perlu untuk di sosialisasikan agar masyarakat kita paham bahwa menikah dini itu memiliki banyak dampak negatif, dan perkawinan anak adalah bentuk kekerasan yang komplit, secara fisik, seksual, mental dan sosial. Perubahan batas minimal usia perkawinan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki diharapkan dapat menghentikan terjadinya perkawinan anak. Ditambah dengan diperketatnya aturan terkait pemberian dispensasi yang diharapkan dapat menekan angka perkawinan anak. Jika sebelum perubahan, orang tua dapat mengajukan dispensasi dalam hal usia calon mempelai di bawah batas minimal yang ditetapkan Undang-Undang ke pengadilan atau pejabat lain, maka dalam perubahan yang baru disahkan dispensasi hanya dapat diajukan kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Setelah kita bahas urgensi dari adanya perubahan Undang-undang No 1 Th 1974 terlebih pada pasal 7 ayat (1) menjadi Undang-Undang No. 16 th 2019, hanya saja ketika kita berfikir realitanya saat ini banyak juga orang-orang yang mengabaikan Undang-Undang tersebut. Terbukti dengan mencuri umur, sabotase data, hingga menikah dibawah tangan atau nikah siiri masih banyak di lakukan. Entah karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang dampak dari perkawinan dini seperti masalah kesehatan, ekonomi, dan mental atau psikologis dari kedua mempelai atau karena alasan lain seperti hamil di luar nikah, atau karena adat istiadat dalam suku/wilayah tertentu  sehingga masih banyak masyarakat kita yang menempuh jalur pernikahan siiri dan pengajuan dispensasi kawin bagi pasangan yang usianya dibawah 19 tahun.

Oleh sebab itu kita yang diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan lebih terkait hal ini, mari kita bantu pemerintah untuk mensosialisasikan bahaya nikah dini, dan kita giring agar masyarakat kita memiliki wawasan yang luas untuk mempertimbangkan baik-baik sebelum memutuskan untuk melaksanakan pernikahan yang beresiko memiliki dampak yang tidak baik ini, hal ini dilakukan agar anak-anak khususnya wanita mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya dan terwujudnya rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun