"Sekali melangkah berarti terus, pantang mundur kebelakang hanya karena gertakan kecil."
Masalahnaya es-ka-nya demikian. Kalau Ma anda mau protes, harusnya ke Universitas. Kami hanya melaksanakan tugas". Kutatap lekat-lekat Dosenku yang tampaknya kesal sekali.
Semakin aku memprotes semakin ia tak bisa berpikir "Ini adalah keputusan Universi- tas". Batinku menggerutu, senjata kaum birokrat orde baru. Tak tahu jaman sudah berubah. Gertak-menggertak bukan zaman lagi, kebenaran, keadialanlah yanga kan berdiri di atas segala pikir picik.
Aku keluar dari ruang dosen. Teman-temanku menunggu ditangga. Ah, teman- teman diam, tak tahu atau tak mau melihat dirinya di dholimi. Melihat wajah piasku, keluar dari ruang dosen teman-teman hanya diam.
"Sudahlah, kalau ada apa-apa nanti repot. Tak ada pilihan lagi." Akhirnya Hadi mengambil keputusan yang sangat kusesalkan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Satu persatu temanku meninggalkanku, menuju bank. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku mengikuti teman- teman.
Kutatap langit dari jendela. Angin berdesir, membisikkan pesan jalan berat dihadapan. Tak ada jalan perjuangan mudah, aral melintang harus disingkirkan. Dari sini perjuangan akan berjalan mulus kembali. Tapi semua itu tidak semudah membalikan tangan. Butuh pikiran, tenaga, dan darah sekalipun memang diperlukan. Kususun tenaga yang masih tersisa, kubentangkan pikiran, kutatap medan di hadapan. Malam telah larut, tapi semangat ini tidaklah demikian. Terus memburu dikegelapan, menyingkap segala yang gelap, pelita kesuraman. Mimpi membuai kegusaranku.
Kupandangi dari tangga gedung kuliah markas persma yang megah berdiri diantara himpitan Lapangan Golf. Kabarnya hendak menggusur gedung perwakilan mahasiswa yang semakin merana karena belum juga mampu menguak misteri. Iom kabarnya uni sunat untuk membeli HP para senator yang hobinya bikin sidang dadakan. Biar mahasiswa kelimpungan, ndak ngutuk- gnutik segala kebijakan-kebijakan yang bikin semrawut. Mereka tak perlu tahu. Kebutuhan mereka kan kuliah, kalau mau
banyak protes mending keluar aja, tokh banyak calon mahasiswa yang antri macam pengungsi antri pembagian bantuan. Bahkan ada yang berani panjer 100 juta sebagai uang tip atau seseran atau apalah namanya..
"Dari mana A'a, kok lesu?'tanyaku A'a sang ketua Kak Hari memandang keseluruh ruang tempat kami berjuang. Kami diam, hening. Udara panas di luar tak begitu berimbas. Kipas angin cukup mendinginkan ruangan empat kali enam meter.
"Dinasehati Bapak" katanya sambil menyelonjorkan kakinya. Sudah kuduga, paling berita kemarin bikin teliganya gatal. Bisa gatal juga rupanya, kukira hanya ocehan anak-anak yang tak perlu didengar.
"Disuruh cepat lulus, cari kerja, mengangur bikin pikiran nyleneh meresahkan orang tua. Beliau pikir kami ingin menggoyang tempat duduk empuknya. Suara dari bawah ini untuk kemajuan Fakultas kita tercinta. Yang tertinggal jauh dengan sauara-saudara kita I Fakultas lain. Dan demi kemanusiaan. Kukira beliau-beliau melek dengan era keterbukaan, bukannya berlindung dibalik tembok birokrasi yang hanya kenal
ABS, BERES, dan semboyan- semboyan Mbah-nya dulu. Kasihan mereka." kata-katanya meluncur mcam peluru tak kena sasaran, Nyasar.
Entah aku tak ingin komentar. Dia bicara terus, tak banyak yang bisa kutangkap. Anak-anak mulai berdatangan, seusai kuliah. Berisik sekali, kipas angin tak mampu mengusir kegerahan yang tiba-tiba menyeruak ketentramanku. Ah, teman-temanku, semangat yang engkau bawa semoga bisa mempengaruh pikiranku yang seakan hampir terkikis.
"Sekali melangkah berarti terus, pantang mundur kebelakang hanya karena gertakan kecil. "Suara A'a seakan memecah kegaduhan. Sasana hening seketika. Aku tak menyangka A'a akhirnya bicara jujur. Serta merta teman-teman menyalami A'a. Senyum, senyum penuh arti. Menerjang segala aral yang akan menghadang dihadapan.
Esoknya aku masuk ruang sekretariat dengan mantap. Kualirkan tinta-tinta diatas kertas-kertas yang kehausan. Kukira langit akan cerah dan mendung menyingkir.