Mohon tunggu...
Rin arini
Rin arini Mohon Tunggu... -

menulis lah agar dikenal dunia, membacalah agar mengenal dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

26 Desember 2004

26 Desember 2017   09:59 Diperbarui: 26 Desember 2017   10:23 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sehari sebelumnya 13 tahun yang lalu, aku bersama keluarga sempat menjenguk abang ku saat itu umurnya masih 10 tahun yang esok hari akan di karantina dan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti lomba FASI  (festival anak sholeh indonesia) sebagai perwakilan dari aceh, ibu ku sempat merasakan perasaan yang beda saat kami hendak menjenguk abang di wisma lampineng terlihat awan begitu mendung dan hitam, tapi rasa akan khawatir itu terus ia tutupi. 

Keesokan harinya tepat di tanggal 26 desember  2004, umurku yang masih berusia 7 tahun. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda di hari itu, tapi aku hanya menyangka bahwa ini adalah hal biasa, maklum saja umurku juga belum begitu dewasa. aku sibuk bermain bersama 2 orang adik ku yang satu masih berumur 2 tahun dan yang satunya lagi masih berumur 4 bulan, aku menikmati hari libur sekolah ku dengan bermain bersama mereka.

Seketika, ada goncangan yang begitu kuat yang sebelumnya aku tidak pernah merasakannya, seluruh warga komplek pun keluar dari rumah sambil berzikir bersama dijalan. Goncangan yang begitu kuat membuat aku takut dan terus bediri di belakang ayah. Aku begitu ketakutakan melihat suasana yang begitu aneh dari biasanya, tak lama kemudian pun setelah goncangan reda kami kembali ke dalam rumah sembari menelepon saudara saudara kami. Tak lama kemudian ada telepon masuk dari tante ku setelah berbicara tiba tiba sambungan telpon terputus dan tidak ada sinyal, terasa aneh dan tidak pernah terjadi sebelumnya.

Goncangan kedua pun mulai menyapa tanah tempat tinggalku, gemuruh air besar layaknya ombak sudah terdengar dari kejauhan kami tetap berdiam di sepanjangan jalan, tak lama kemudian dari sebelah tembok pembatas komplek ku ada orang yang berteriak sambil berkata " air laut naik " kami pun kebingungan dan heran apa maksud dari kalimat seorang pemuda tersebut, tiba-tiba air laut yang begitu pekat berwarna hitam menembus dari belahan tembok pembatas tersebut, kami pun berlari, aku sambil bersedih dan takut karna banyak hewan-hewan seperti anjing kambing lembu yang bersebelahan dengan ku. 

Tapi aku tetap memberani kan diri, ibu sambil menggendong adikku yang masih berumur 4 bulan dan adikku yang masih berumur 2 tahun di gendong oleh penjaga rumah, kami terus berlalu sampai bisa bertepi. Namun ayah masih di belakang karna sempat mengunci rumah, alhamdulillah dengan izin Allah ayah tetap berlari di belakang kami.

Aku melihat begitu dahsyat bencana ini bahkan aku merasa takut sekali untuk terus berhadapan melihat air aku melihat banyak orang-orang meminta tolong, apa daya diriku yang mungil ini tak mampu menolong mereka. Selebihnya aku terus berlari hingga aku dan keluarga ku sampai di depan lapangan  tugu yang berpapasan dnegan unsyiah dan orang sudah begitu ramai dan menangis terisak-isak karna teringat saudara-saudara mereka yang tidak selamat. Kami mencoba menenangkan diri di bawah gedung unsyiah karna begitu trauma dengan tsunami.

Alhamdulillah, aku berterima kasih kepada Allah karna telah menyelamatkan keluarga ku, aku masih belum memikirkan bahwa abang ku akan selamat aku mengira ia akan baik-baik saja, setelah kami mengungsi di rumah nenek tepatnya di sektor timur disana sudah berkumpulan saudara-saudara ku dari sebelah ayah. Setelah itu kami terus mencari jejak abang yang entah kemana, kami mengira bahwa ia telah tiada, rasanya aku begitu kehilangan ketika tau jejaknya tak di temukan.

Melihat beberapa mayat yang bertebaran dan bayi-bayi yang tak selamat sedih sekali rasanya, bahkan ada yang kehilangan sebagian anggota tubuhnya. Aku begitu yakin Allah tidak akan menguji hambanya sesuai dengan batas kemampuannya. Setelah beberapa hari di terpa tsunami kami terus mencari jejak abang yang hilang setelah mengikuti karantina  dan pelepasan perlombaan FASI di taman ratu safiatuddin.

Akhirnya setelah seminggu pencarian kami coba untuk memutuskan pulang ke kampung tepatnya di montasik, tanpa memberi kabar kami pun langsung menuju kampung halaman. Sesampai disana kami melihat seluruh saudara-saudara ku dalam keadaan baik-baik saja dan mereka selamat tiba-tiba terlihat dari kejauhan yang mirip sekali dengan abang dan ternyata itu benar abang, kami mengira ia telah tiada.

Lalu abang mencoba menceritakan latar belakang kenapa ia bisa sampai ke kampung, tepat di hari minggu abang bersama teman-teman menuju taman ratu safiatuddin untuk mengikuti pelepasan, abang merasa pagi itu berbeda ia melihat burung-burung begitu riuh saat berterbangan seperti ada sesuatu yang terjadi, rupanya benar setelah perasaan itu muncul terlihat orang-orang berlarian sambil ketakutan dan terlihat lebatnya air yang keluar dari laut, ia berlari bersama 2 orang temannya sampai ke arah lumbata setiba di lumbata ada mobil kijang yang ternyata itu adalah mobil bunda, lalu mereka memanggil ku " itu ipan kan ?" lalu mereka bergegas menaiki abang ke dalam mobil dan langsung berangkat menuju kampung halaman.

Aku merasa selalu bersyukur banyak hikmah yang bisa di petik dan di tanam agar kita selalu senantiasa meminta perlindungan dari Allah. Banyak sekali pelajaran yang bisa di kutip dari kejadian ini semoga kita adalah hamba yang tak pernah lupa bersyukur dan berdo'a kepada Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun