Tapi Mersault ini ya tetep jawab apa adanya, bahwa dia nggak cukup punya uang buat ngerawat ibunya di rumah. Tentang kematiannya juga dia jawab dengan sama sederhananya. Diambilnya sebuah penjelasan dari yang dia pahami selama ini, kalo kematian seorang ibu adalah hal yang biasa dan nggak usah berlebihan karenanya.
Akhirnya dia dinyatakan bersalah dan divonis hukuman mati.Â
Yang menarik ketika dia di dalam sel. Mersault sadar hasrat yang dia miliki, yang selama ini jarang muncul. Kayak buat sekadar liat udara terbuka, jalan-jalan di pantai, atau sentuhan perempuan. Tokoh kita ini dapet pemahaman baru kenapa orang yang bersalah dijeblosin ke penjara, bahwa penjara nggak cuma sekedar jeruji besi. Sel lapas nggak cuma memenjarakan tubuhnya, tapi juga memenjarakan hasrat hidupnya, keinginan-keinginannya, segala kebutuhan jasmani, rohani, kayak nikmatin udara terbuka tadi, sesederhana ngerasain butiran pasir ngegerenjel di telapak kaki.
Lalu beberapa saat menjelang hari eksekusinya datang seorang pendeta yang berhasil masuk ke kotak penjaranya setelah beberapa Mersault menolak keras berkali-kali. Pendeta tidak tahu diri itu bicara tentang Tuhan, dosa-dosa, dan hidup setelah kematian yang menurut Mersault Malang memuakkan. Untuk pertama kalinya, dia begitu emosional, kalap, dan nendang pendeta itu buat enyah dari tempatnya.
Karena sebenernya yang dia pengenin menjelang kematiannya ini cuma ketenangan. Toh bagaimanapun, sebenernya dia siap. Dia siap menghadapi apapun. Orang-orang seperti pendeta yang bawa-bawa kepercayaannya dirinya sendiri dan kelompoknya itu nggak usah khawatir, Mersault udah lebih dari siap. Kita udah liat pandangan sederhananya dia tentang pernikahan dan hal-hal lainnya dalam hidup.
Same as death, there is nothing special about it.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H