Mohon tunggu...
Arini Ninini
Arini Ninini Mohon Tunggu... -

mencoba aktif di dunia kompasiana.tapi saya belum bisa nulis..saya hanya suka mengeluh, dan bercerita....hehehe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan, Kopi, dan Ingatanku Tentangmu...

30 September 2011   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:28 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini, aku duduk sendiri, ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok. Hujan mulai turun rintik-rintik. Sesekali kilat menyambar. Langitseperti sedang memfotoku. Aku membenarkan letak dudukku, bersandar pada punggung lincak. Cuaca seperti ini membuatku ingat padanya. Dia yang amat kucintai hingga saat ini. Dia yang jauh di hati dan tak mungkin memeluknya lagi.

Genap tiga bulan kami berpisah. Sampai saat ini aku masih ingat betul semua tentangnya. Garis tawanya, caranya membuatku tertawa, ekspresi marahnya, nasehatnya, tangisnya… Ah, tidak. Dia jarang sekali menangis. Dia perempuan, tapi dia jagoan. Kalau tidak benar-benar kesal padaku, dia tak akan menangis.

Pernah waktu itu, dia menangis di depanku. Kala itu aku memang bandel sekali. Ndableg kalau kata orang Jawa. Kuliah tidak, kerja juga tidak. Kerjaku cuma main, nongkrong, minum. Kemarahan ibu dan bapak sudahbiasa buatku. Hanya seperti angin lalu. Dan dia tak henti-hentinya mengingatkan aku. Dia ingin aku sadar. Dia ingin aku berubah.

Aku masih ingat bagaimana ia berusaha begitu sabar menghadapiku. Ketika itu aku pulang malam-malam, dalam keadaan mabuk. Ia membukakan pintu untukku. Aku langsung masuk tanpa sedikitpun menyapanya, lalu duduk di ruang tamu. Ia mendekatiku, berusaha melepaskan sepatu dan jaketku. Tapi aku malah menyentaknya. Aku tahu ia menitikkan air mata. Tapi otakku tak bisa berpikir. Aku berada di bawah pengaruh alkohol. Tak lama kemudian aku tertidur, masih di sana, di kursi ruang tamu. Malam-malam selanjutnya tak jauh berbeda dengan malam ini.

Mungkin ia mulai bosan. Awalnya ia membiarkan, tak menghiraukan. Ketika aku pulang dengan tanpa sadar, ia hanya diam. Tapi waktu ia mulai memberanikan diri untuk bicara.

“Mas, ntar malam jalan-jalan, yuk!” hari masih sore kala itu.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Ummm...aku pengin ke Bukit Bintang, Mas.”

“Oke... tapi ntar makan dulu ya...”

“Sip...” sambutnya dengan gembira.

Malam itu kami meluncur ke Bukit Bintang. Kami duduk di pinggir jalan, sambil menikmati jagung bakar. Kami bercanda dan berbincang seperti biasa. Ia senang sekali mengejekku dengan mengataiku “item”. Dan aku suka mengatainya “ndut”. Sesaat kemudian hening. Kami terpaku dengan pikiran kami masing-masing. Lalu ia mulai bicara.

“Mas, apa gag bosan, tiap malam Mas minum terus...”

terus terang aku kaget dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Selama ini ia tidak pernah menyinggunya.

“Ummm...”

“Aku gag tega liat kamu, Mas. Kasian liatnya, tiap malam pulang dalam keadaan mabuk. Apa gag kasihan sama badanmu, Mas?”

sekali lagi aku diam.

“Maafin aku ya...”

“Mas gag perlu minta maaf. Mas gag salah sama aku. Tapi bolehkah aku meminta satu hal, Mas? Aku pengin kamu ninggalin semua alkohol itu, atau paling tidak mengurangi.”

aku tak berani menatapnya. Tapi dalam hati aku mengakui bahwa selama ini aku sudah kelewatan. Sibuk dengan duniaku sendiri, dengan urusanku sendiri, dan menelantarkannya.

… … …

malam itu aku sedang seorang diri di rumah. Ia pamit mengerjakan tugas bersama teman-temannya. Mulanya ia mengajakku, tapi aku sedang malas keluar. Aku ingin di rumah saja, menonton televisi. Waktu aku sedang merapikan tempat tidur, tak sengaja aku menemukan buku diary miliknya. Hmmm, aku tergoda untuk membukanya. Aku ingin tahu. Lalu aku mulai membacanya.

Sungguh rasanya aku berdosa sekali. Ternyata, tiap malam ia menangis karenaku. Karena aku selalu pulang dalam keadaan mabuk. Ia tak berani menegurku karena hanya ia takut aku tersinggung dan marah. Tuhan, apa yang telah aku lakukan padanya? Aku bertekad akan meminta maaf padanya. Aku berjanji akan meninggalkan segala macam minuman laknat itu dan mulai memperhatikannya.

… … …

Empat tahun hubungan kami berjalan. Kami memang berpacaran, tapi dia sudah seperti istriku, dan aku suaminya. Tak jarang pula ia menginap di rumahku. Kebetulan memang orang tuaku tinggal di luar kota karena tugas. Sampai suatu saat kami benar-benar kelewatan. Kami mulai melewati batas. Pikiran kami sedang tak waras. Tak sadar kami melakukan hal-hal yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan yang sudah resmi menikah. Dan akhirnya ia pun hamil. Aku senang sekali. Aku akan jadi ayah! Tapi aku juga sedih, kenapa hal ini terjadi di luar kerangka “halal”. Sungguh aku merasa sangat berdosa. Aku ingin menebusnya dengan menikahinya.

Aku sudah membicarakan masalah ini dengan keluarga besar kami. Semua sudah setuju. Tapi sedikit pun aku tak menyinggung masalah kehamilannya. Ini menjadi rahasia kami berdua. Waktu itu usia kehamilannya mencapai lima bulan. Selama itu, aku selalu mengantar kemana ia pergi. Bukan karena aku takut ketahuan, tapi aku mengkhawatirkannya. Aku tak ingin sesuatu terjadi padanya. Untung saja dia memang memiliki perawakan besar sehingga usia lima bulan tidak membuat badannya berubah banyak dan masih terlihat “normal” seperti biasanya.

Suatu saat ia harus mengikuti kegiatan praktek dan studi banding ke luar daerah selama tiga hari. Sebenarnya berat bagiku mengijinkannya pergi. Tapi ia meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja. Aku mempercayainya. Selama itu aku selalu mengkhawatirkannya.

Tiga hari berlalu. Ia pulang. Ia letih. Ia sakit. Badannya panas. Ia mengeluhkan sakit pada perutnya. Aku bingung, tak tahu harus bagaimana. Ingin aku membawanya ke rumah sakit, tapi itu tak mungkin. Ia memintaku mengantarnya ke kamar mandi. Dan di situlah terjadi. Janin itu keluar... ia menangis, berteriak memanggilku. Aku segera menghampirinya. Sumpah Demi Tuhan, aku tak tega melihatnya. Aku bingung. Lalu ia menyuruhku mengambil gunting dan handuk. Ia akan melakukan sendiri persalinannya. Aku hanya manatapnya, tak kuasa bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Dan akhirnya aku hanya terpaku melihat semuanya.

Anakku. Aku melihat anakku. Tapi ia tak bisa melihatku. Dia laki-laki. Persis sepertiku. Aku menangis. Aku bergantian memeluk dia dan anakku. Sesaat kami terbawa emosi, sedih luar biasa. Anakkku lahir sebelum waktunya. Ia gugur. Lalu aku tersadar, aku harus melakukan sesuatu. Kubalut anakku dengan handuk, meletakkannya di atas meja di ruang tengah. Aku kembali lagi untuk membopong ibu dari anakkku, membaringkannya di kamar.

Bagaimana ia bisa melakukan persalinannya sendiri? Hal itu bukan sesuatu yang baru buatnya. Ayahnya adalah seorang dokter. Ia biasa melihat ayahnya melakukan pembedahan terhadap pasien, termasuk pada persalinan ibu hamil. Tapi, bagaimana mungkin ia tega dan seolah tak merasakan sakit? Ia adalah wanita terkuat yang pernah kutemui. Bahkan mungkin lebih kuat dariku. Ia tak takut dengan apa pun, termasuk rasa sakit.

Tapi kali ini, aku melihatnya berbeda. Ia terlihat lemah tak berdaya. Tentu saja, wanita mana yang tak sedih kehilangan anaknya? Apalagi ia belum sempat mengenalnya.

Hari-hari setelah itu kami lalui dengan lebih banyak senyum palsu. Kami menanggung kesedihan luar biasa, tapi kami harus tetap terlihat ceria demi menutupi ini semua. Tak seorang pun mengetahui hal ini dan kami tak ingin memberitahukannya pada siapa pun. Ini rahasia kami berdua, dan Tuhan tentunya.

… … …

Setahun berlalu. Hubungan kami berubah. Dari yang awalnya baik-baik saja, kemudian menjadi yah…riak-riak kecil mulai muncul. Aku merasa asing dengannya, begitu juga dengan dia. Hal-hal kecil yang seharusnya kami tak menghiraukannya, menjadi sebuah masalah besar yang kami perdebatkan berhari-hari. Dan perdebatan selalu diakhiri tanpa ada yang mengalah, artinya, masalah itu kemungkinan masih bisa diungkit lagi.

Entah kenapa bisa begini. Mungkin memang dia sudah capek denganku, dengan segala ke-ndableg-anku, atau mungkin aku yang capek dengannya karena dia menjadi sulit dikendalikan. Aku, mungkin karena stress memikirkan anakku dan kuliahku dan segala tanggung jawabku, kembali bergelut dengan alkohol. Dia, yang mungkin juga frustasi karena anaknya dan aku dan hal-hal lainnya, mencoba mencari dunia baru yang tak terjamah olehku. Aku selalu mencintainya, walaupun aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Tetapi memang kenyataannya, kami sudah beda.

Ia yang memulai pembicaraan itu. Pembicaraan yang intinya adalah sebaiknya kami berpisah. Kelu. Tak ada lagi yang bisa kukatakan dan kujelaskan. Aku menyanggupi saja ajakan itu. Apa sajalah, terserah dia. Mungkin memang dengan begini keadaan akan membaik. Mungkin memang dia akan lebih baik tanpa aku. Mungkin memang aku akan lebih bisa mengurus segala prioritasku tanpanya. Mungkin dia bukan yang terbaik untukku. Mungkin aku tak pantas untuknya. Mungkin dia akan segera mencari penggantiku. Mungkin aku akan menemukan cinta yang lainnya. Mungkin dia akan selalu menunggu waktu yang tepat untuk kemudian memulai lagi semuanya dari awal denganku. Mungkin aku tak bisa melupakannya dan mencari cara bagaimana aku bisa kembali lagi padanya. Mungkin kami akan bersatu kembali. Mungkin tidak. Mungkin kami tak akan saling kenal lagi. Mungkin tidak. Mungkin…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun