Terdapat beberapa istilah kata ganti 'perempuan' dalam bahasa Jawa. Dimana, setiap kata ganti itu memiliki filosofi tersendiri.
- Wanita atau wanito, dalam kreta bahasa Jawa memiliki arti wani ditata. Hal ini berarti bahwa perempuan itu harus mau diatur, terlebih jika menyangkut norma-norma dan stigma masyarakat.
- Wadon, diadaptasi dari bahasa Kawi Wadu yang berarti kawula atau abdi. Dalam hal ini, perempuan diartikan sebagai abdi bagi laki-laki yang diwajibkan untuk taat pada apapun yang diperintahkan laki-laki.
- Estri, diambil dari bahasa Kawi estren atau pengestren yang artinya perempuan dianggap sebagai sosok yang mampu memberi dorongan. Pemaknaan ini bisa juga merujuk pada ungkapan "Dibalik laki laki hebat, ada perempuan hebat dibelakangnya."
- Putri, dalam kawruh basa disandingkan dengan akronim putus tri perkawis. Penyandingan istilah ini kerap merujuk pada makna kedudukan perempuan yang dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban wanita yaitu sebagai wanita, wadon, dan estri.
- Kanca wingking, dengan konsep teman dibelakang yang linier dengan status istri sebagai makmum laki-laki. Meski kerap diartikan dalam strata kedua, tapi sebenarnya perempuan sebagai kanca wingking juga lekat dengan peran pendorong dan pendukung yang selalu siap membantu baik berupa tenaga maupun pikiran.
Berbagai makna dari sebutan perempuan dalam bahasa Jawa diatas tentu sangat erat kaitannya dengan istilah dapur, sumur, dan kasur. Istilah ini juga bisa disandingkan dengan masak, macak, dan manak. Tiga lakonan itu harus bisa dilakukan perempuan Jawa, bila salah satu unsur tidak terpenuhi maka hal yang akan terjadi adalah mendapat stigma negatif, tidak pantas, bahkan mendapat gunjingan.
Pada intinya makna dari ketiga istilah tersebut adalah, perempuan Jawa harus bisa melayani kaum laki-laki saja dan dianggap tidak perlu turut serta dalam bidang kemajuan. Tradisi kungkungan adat sebagai contohnya, yang mana perempuan tidak dibebaskan dalam beraktivitas. Memasuki usia baligh, perempuan itu menjalani pingitan dan harus mau dinikahkan dengan lelaki yang bahkan sama sekali tidak dikenali. Bukankah tradisi tersebut sangat membelenggu kaum hawa?
Sering kita temui anggapan "Perempuan kok nggak bisa masak, mau dikasih makan apa nanti suaminya." "Perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga cuma di dapur." "Jangan cuma pendidikan terus yang dikejar, nanti laki-laki minder mau deketin," dan masih banyak lagi. Anggapan tersebut seolah memandang rendah kaum perempuan. Padahal seperti yang telah kita ketahui dengan pendidikan, sosok Raden Ajeng Kartini dapat membuat sebuah pemikiran dan peradaban besar bagi kaum perempuan saat itu yang terasa manfaatnya hingga generasi kini.
Secara kodrat, laki laki dan perempuan memang berbeda. Namun perbedaan itu bukan untuk menunjukkan siapa yang akan lebih berkuasa atas lainnya (konteks berkuasa disini sangat berbeda dengan memimpin). Justru perbedaan itu diciptaan untuk membentuk ke-idealan suatu pola bermasyarakat. Kita tidak bisa terus menerus menjadikan anggapan kuno yang menganggap bahwa wanita tidak akan bisa bersaing dengan laki-laki dalam hal-hal yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan gender.
Selain itu, melawan stigma bukan berarti menentang kodrat. Sudah dikatakan diatas, kodrat yang dimaksud hanyalah perbedaan biologis antara laki laki dan perempuan. Hal itu memang nyata berbeda. Yang ditentang di sini adalah perbedaan perlakuan masyarakat terhadap masing-masing gender.
Kita bisa mulai menghilangkan diskriminasi gender dari hal-hal kecil dan diri sendiri terlebih dahulu, seperti berhenti menganggap pekerjaan rumah hanya untuk anak perempuan, atau berhenti mengagung-agungkan budaya patriarki yang membatasi pergerakan perempuan. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang tidak bisa disamakan dengan laki laki, begitu juga sebaliknya. Disinilah kita membutuhkan kesadaran terhadap diri sendiri sebagai ciptaan-Nya.
Meski melekat dengan konsep budaya patriarki yang sudah terpatri sejak dulu, dalam perkembangan di era modern ini perempuan menjalani peran yang terbilang sentral dan setara. Peran perempuan haruslah lebih dari sekadar masak, macak, dan manak. Segala pemikiran yang keliru dengan hakikat kemerdekaan perempuan perlu diluruskan. Stigma bahwa perempuan Jawa itu kodratnya di rumah, tidak perlu melakukan hal neko-neko dalam berkarier, dan pembatasan-pembatasan lainnya bagi pergerakan perempuan harus disingkirkan.
Perempuan bila terus dikekang oleh budaya kuno tentu tak akan pernah maju. Yang ada hanyalah keterbelakangan dan penindasan yang terus terkurung dalam ketidaksetaraan. Perempuan adalah pusatnya peradaban dan peradaban tak akan mungkin terbangun tanpa generasi yang terdidik.
(Sof-Arn)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H