Saya bagian dari mayoritas warga DKI Jakarta yang menggunakan angkutan umum dan berjalan kaki dalam mobilitas sehari-hari. Wilayah mobilitas biasanya meliputi Jakarta, Tangerang sampai Depok. Kerap kali dalam mobilitas tersebut saya harus melalui jembatan penyeberangan dengan tangga yang curam untuk sekedar menyeberang dari sisi jalan satu ke sisi lainnya. Jelas, jembatan penyeberangan tersebut tidak aksesibel bagi difabel, orang tua, anak-anak dan perempuan hamil.
Di Tangerang misalnya, jembatan penyeberangan Kebun Nanas adalah salah satu yang tercuram. Pernah suatu waktu saya melihat seorang ibu yang sedang hamil membawa tas belanjaan dan menuntun puterinya, tertatih-tatih menaiki tangga demi tangga. Sesekali mereka berhenti untuk mengatur nafas, kemudian naik tangga lagi. Ini tentu menyedihkan. Padahal jembatan penyeberangan ini terletak di lokasi strategis, karena di bawahnya angkutan kota serta bis-bis dengan rute yang menghubungkan JABODETABEK ngetem, menunggu penumpang.
Begitu pula di jalan Margonda, Depok. Dua jembatan penyeberangan yang berada di depan Depok Town Square dan di depan Terminal Depok juga curam dan menyusahkan penyeberang jalan. Maka tak heran jika penyeberang sering menerobos pagar pembatas , untuk menghindari naik jembatan penyeberangan. Padahal risikonya besar, karena jalan Margonda adalah salah satu jalan paling berbahaya buat para pejalan kaki, selain jalan Raya Bogor dan jalan Parung-Ciputat. Tahun lalu, di tiga jalan itu 115 pejalan kaki menjadi korban kecelakaan (Kompas, 30/01/12). Walaupun begitu, bukan berarti jembatan penyeberangan menjadi solusinya. Yang menggembirakan, solusi yang cerdas sudah dimulai di sini, yakni dengan dibuatnya traffic light dan polisi tidur di jalan yang biasa dilewati atau diseberangi mahasiswa-mahasiswi UI dan Universitas Gunadarma, di sekitar Pondok Cina.
Bagaimana dengan Jakarta? Ah, terlalu banyak jembatan penyeberangan yang menyusahkan pejalan kaki. Kita bisa lihat jembatan penyeberangan di sepanjang jalan Sudirman dan Rasuna Said, untuk membuktikan betapa tidak aksesibel bagi difabel, orang tua dan perempuan hamil. Awal bulan lalu, ketika menyeberang dengan menggunakan jembatan penyeberangan di dekat Departemen Hukum dan HAM di jalan Rasuna Said, saya menjumpai seorang bapak tua dengan penglihatan yang sudah terganggu, harus dituntun untuk menaiki tangga tersebut. Orang dengan kondisi seperti bapak tadi pasti membutuhkan pertolongan orang lain untuk sekedar menyeberang jalan.Selain tidak aksesibel, jembatan penyeberangan di Jakarta juga rawan kejahatan, seperti peristiwa penodongan di Jakarta Barat hampir sebulan lalu (Kompas, 12/03/12).
[caption id="attachment_172258" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang yang terganggu penglihatannya dibantu kawannya untuk naik jembatan penyeberangan"][/caption] Dari keberadaan jembatan penyeberangan saja kita bisa melihat paradigma dan keberpihakan penguasa kota. Kota-kota dikembangkan untuk meladeni kendaraan dan melancarkan pergerakannya, sedang manusia bukan menjadi tujuan utama. Kota juga dikembangkan sebagai pusat konsumsi. Sebab bagi penganjur paradigma ini, konsumsi itu baik, karena mendorong pertumbuhan ekonomi. Sedang pejalan kaki dianggap tidak banyak menyumbang bagi pertumbuhan ekonomi, karena memang sedikit mengonsumsi. Lain dengan kendaraan bermotor. Semakin banyak kendaraan bermotor menyebabkan semakin banyak konsumsi bahan bakar. Macet tidak apa-apa, bahkan bagus karena akan banyak konsumsi bahan bakar yang, lagi-lagi, menunjang pertumbuhan ekonomi. Tapi, kota macam begini belum tentu nyaman, lestari dan aksesibel bagi banyak warganya, karena manusia bukan menjadi tujuan utama.
Untuk menumbuhkan kota yang manusiawi, nyaman, lestari dan aksesibel bagi siapa saja, banyak langkah yang bisa dilakukan. Kita bisa mulai dengan langkah “kecil” dan “sederhana”, misalnya dengan merobohkan jembatan penyeberangan. Dengan begini kita juga merobohkan simbol kekalahan manusia dari kendaraan bermotor. Tentu tidak sekedar merobohkan, tapi juga membuat penyeberangan yang manusiawi, seperti penyeberangan yang didukung traffic light, polisi tidur dan zebra cross. Jadi di lokasi-lokasi penyeberangan ini kendaraan bermotor akan berhenti atau berjalan pelan, memberi kesempatan pada pejalan kaki untuk menyeberang. Dengan begini para pejalan kaki, termasuk di sini difabel, orang tua, anak-anak, dan perempuan hamil, bisa menyeberang dengan aman dan nyaman.
Penyeberangan yang aman dan manusiawi ini pada akhirnya juga mendorong warga kota untuk tidak takut atau segan berjalan kaki, bahkan bersepeda. Apalagi jika didukung pedestrian dan jalur sepeda yang memadai. Ruang-ruang publik seperti pedestrian inilah sekarang yang banyak hilang dari kota-kota besar, atau sengaja tidak dirancang ketika sebuah kota dibangun. Dengan demikian, merobohkan jembatan penyeberangan dan membangun penyeberangan yang manusiawi adalah langkah kecil menuju kota yang benar-benar untuk manusia, bukan kendaraan bermotor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H