Mohon tunggu...
Arinda Safira
Arinda Safira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Manusia yang mudah penasaran ini tidak begitu tertarik dengan bakso dan mie ayam seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka jangan beri saya kedua itu untuk sebuah perayaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Karya Sastra: Menjaga Pikiran untuk Tetap Merasa dan Berempati

29 Mei 2024   17:18 Diperbarui: 18 Juli 2024   21:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Membaca karya sastra, terkhusus novel, kerap dianggap sebagai kegiatan hiburan semata. Padahal, di balik rangakaian kata yang terjalin menawarkan manfaat yang jarang disadari. Mari kita melangkah keluar dari persepsi novel sebagai pelarian sesaat. 

Ahmad Juhdan, mahasiswa Sastra Arab yang memiliki kegemaran membaca, mendapatkan amanah menjadi Wakil Menteri Analisis Strategi BEM UNS, dan menjadi salah satu pembicara dalam sebuah event Bedah Buku. Ia menyatakan bahwa membaca buku terkhusus novel, dapat melatihnya untuk berpikir kritis karena ia tidak akan bisa menerima alur cerita yang tidak masuk akal. 

"Membaca buku memang tidak lantas membuatmu menjadi orang besar, tapi semua orang besar itu membaca buku," tegasnya. Ia juga mengutip pernyataan Mohammad Hatta, 

"Aku rela dipenjara asalkan bersama buku."

Pada dasarnya, cerita dalam karya sastra berupa novel adalah rasionalisasi dari kenyataan yang ada, karena karya sastra merupakan cerminan dari keadaan sosial, budaya, bahkan kondisi politik di lingkungan asalnya. Novel dengan cerita yang kompleks dapat mendorong pembacanya untuk memahami alur yang ada, menganalisis permasalahan yang dialami oleh para tokohnya, menghubungkan titik-titik rumpang yang disajikan, menebak teka-teki yang diberikan, mencari jawabannya, hingga menarik kesimpulan. Dengan merenungkan pilihan para karakter dan konsekuensinya, kita belajar untuk berpikir kritis dan mengambil keputusan yang bijak dalam kehidupan nyata. Hal ini tentunya mampu memberikan pengalaman baru pada kita tanpa harus keluar rumah dan mengalaminya sendiri. Terlebih lagi, novel yang baik seringkali menyuguhkan dilema moral yang memancing perdebatan.

Cerita bersambung yang ditulis di majalah Pedoman Rakyat pada 1938, misalnya. Cerita dengan judul Tenggelamnya Kapal van der Wijck itu ditulis oleh Hamka, terbit menjadi novel, kemudian berhasil mendapatkan respon positif dari pembaca hingga kritikus sosial di masanya. Novel itu mengejawantahkan kondisi sosial di era penjajahan Belanda dengan balutan fiksi romance dan diterima baik oleh masyarakat Hindia-Belanda, meskipun mendapatkan tentangan dari beberapa pihak mengenai citra Hamka sebagai pemuka agama yang menulis karangan. Cerita ini menjadikan Pedoman Rakyat sebagai media yang seringkali bersitegang dengan aparat pemerintahan karena latarbelakang isu yang diangkat sangat dekat dengan mereka. Sebuah kesengajaan dari penulisnya untuk membangun daya kritis masyarakat mengenai keadaan yang sesungguhnya.

Kejadian yang tesurat dalam novel selalu mengandung banyak ironi. Memainkan perasaan pembaca dengan memberikan konflik bertubi-tubi pada para tokoh yang tersaji. Seringkali kita geram dengan apa yang diputuskan, tidak jarang pula kecewa dengan penulisnya, selaku Tuhan atas tokoh-tokoh yang ia ciptakan, kita dipaksa menerima kenyataan bahwa pembaca tidak dapat mencampuri takdir yang telah penulisnya gariskan. Hal ini jelas menggambarkan bahwa membaca novel mampu memancing respon akan perasaan manusia dengan memainkan emosinya. Itulah mengapa membaca novel dapat menjaga dan melatih pikiran kita untuk bisa tetap merasa. Sebab dengan "masuk ke dalam sepatu" para karakter, kita belajar memahami perspektif yang berbeda, merasakan emosi mereka, dan bersimpati terhadap pengalaman hidup mereka. Ini penting untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain dan menciptakan lingkungan sosial yang lebih inklusif.

Tak bisa dipungkiri, penulis novel yang ulung, handal menggunakan diksi yang kaya dan gaya bahasa yang beragam. Semakin sering kita terpapar dengan kosakata baru dan struktur kalimat yang bervariasi, semakin terasah pula kemampuan berbahasa kita. Kita mendapatkan banyak contoh mengenai cara memilih kosakata dan melatih gaya bahasa, mengamati penempatan kata sampai kalimat pada konteks yang tepat. Tentu ini bermanfaat untuk melatih kemampuan berkomunikasi pada kehidupan sehari-hari, penulisan, atau bahkan menjalin relasi.

Pada akhirnya, membaca novel bukan hanya sekadar menghabiskan waktu luang, bukan hanya sekadar hiburan, bukan pula sekadar alternatif melarikan diri dari hingar bingar duniawi. Ini adalah investasi untuk menciptakan masa depan yang lebih cerdas dan berempati. Jadi, buka halaman pertama novelmu dan mulailah bertualang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun