1.1.Latar Belakang
Trauma adalah pengalaman mendalam yang dapat meninggalkan jejak signifikan pada kesehatan mental dan pembentukan identitas individu. Pemahaman tentang trauma sebagai bagian dari perjalanan manusia penting untuk melihat bagaimana pengalaman masa lalu dapat membentuk narasi diri dan kesejahteraan psikologis seseorang. Identitas seseorang terbentuk dari interaksi antara pengalaman masa lalu dan harapan masa depan. Dalam konteks trauma, pengalaman traumatis dapat memengaruhi cara individu memahami dan menceritakan kisah hidupnya (Hidayah, 2016).
Konflik, termasuk trauma masa lalu, memiliki pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan psikologis remaja. Trauma dapat menyebabkan gangguan emosional yang memengaruhi hubungan sosial dan kemampuan untuk menghadapi tantangan di masa depan (Fatimah & Laeli, 2024). Untuk membantu individu, khususnya remaja, mengatasi trauma, diperlukan pendekatan yang terfokus pada stimulasi perkembangan psikososial. Strategi stimulasi psikososial yang dirancang dengan baik dapat meningkatkan kesehatan mental remaja secara signifikan (Mawaddah & Prastya, 2023). Selain itu, (Putri et al., 2024) menggarisbawahi pentingnya intervensi yang holistik untuk mengatasi dampak kekerasan, salah satu bentuk trauma berat. Memori memainkan peran penting dalam pembentukan narasi identitas.
Pendekatan ini dapat membantu individu untuk mengatasi trauma dengan cara yang lebih adaptif, meskipun perlu pertimbangan etis dalam penerapannya. Trauma adalah pengalaman yang kompleks dan multidimensional, yang memengaruhi kesehatan mental dan identitas individu. Memahami trauma sebagai bagian dari narasi hidup seseorang membuka peluang untuk intervensi yang lebih efektif, baik melalui pendekatan psikososial maupun naratif. Dengan memberikan ruang bagi individu untuk menceritakan kembali pengalaman mereka, kita dapat membantu mereka menemukan makna baru dan melangkah menuju kesejahteraan psikologis yang lebih baik.
Pengalaman masa lalu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan mental individu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman seperti trauma, kehilangan, konflik, dan tekanan sosial sering kali meninggalkan dampak psikologis yang bertahan hingga dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa trauma masa kecil dapat meningkatkan risiko gangguan mental seperti kecemasan dan depresi pada remaja dan dewasa muda (Erlita et al., 2020). Trauma juga dapat memicu kesulitan dalam mengembangkan identitas diri yang stabil, terutama pada individu yang mengalami kekerasan atau pengabaian selama masa kanak-kanak (Ningsih et al., 2023).
Krisis identitas sering terjadi pada masa remaja, yang merupakan fase penting dalam perkembangan psikososial. Hidayah (2016) menyatakan bahwa masa remaja adalah periode yang penuh tantangan, di mana individu berusaha menemukan siapa diri mereka dan peran apa yang ingin mereka mainkan dalam masyarakat. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik identitas ini sering kali terkait dengan pengalaman masa lalu yang tidak terselesaikan, seperti broken home atau kehilangan yang mendalam (Suhartini et al., 2024).
Selain itu, pengalaman emosional seperti kesepian dapat memperburuk dampak trauma masa lalu, khususnya pada populasi yang rentan seperti lansia. (Atsira1 et al., 2024) menemukan bahwa kesepian emosional berkorelasi dengan penurunan kognitif dan kualitas tidur, yang pada gilirannya memengaruhi kesehatan mental secara keseluruhan. Di sisi lain, konflik interpersonal, terutama dalam hubungan keluarga, berkontribusi terhadap rendahnya kesejahteraan psikologis remaja (Fatimah & Laeli, 2024).
Upaya untuk mengatasi krisis identitas dan meningkatkan kesehatan mental memerlukan pendekatan yang holistik. Mawaddah dan Prastya (2023) menekankan pentingnya stimulasi perkembangan psikososial untuk membantu remaja mengatasi tantangan emosional mereka. Dalam konteks ini, pemberdayaan individu untuk memproses pengalaman masa lalu melalui konseling atau intervensi psikologis dapat menjadi langkah penting untuk mencegah dampak negatif jangka panjang(Avellia et al., 2023).
Dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang ini, penelitian mengenai pengaruh pengalaman masa lalu terhadap kesehatan mental dan krisis identitas menjadi semakin relevan untuk memahami bagaimana pengalaman tersebut membentuk pola pikir dan perilaku individu di masa kini.
1.2.Rumusan Masalah
1.Bagaimana trauma dan pengalaman masa lalu memengaruhi kesehatan dan identitas diri seseorang?
2.Apa saja faktor yang memengaruhi dan bagaimana cara membantu individu dengan krisis mental dan identitas?
1.3.Kajian Teori
Masa lalu memainkan peran sentral dalam pembentukan identitas diri melalui memori autobiografis, yang mencakup pengalaman pribadi dan peristiwa signifikan yang membentuk individu saat ini. Proses ini melibatkan self-defining memories (memori pembentuk diri), yang memberikan makna pada peristiwa masa lalu dengan membantu individu memahami diri mereka dan posisi mereka di dunia. Sebagai contoh, pengalaman sukses atau kegagalan dapat memberikan wawasan tentang nilai, tujuan, atau kemampuan seseorang, menciptakan narasi hidup yang koheren dan memfasilitasi rasa kontinuitas identitas (Fatimah & Laeli, 2024).
Memori pembentuk diri memiliki aspek emosional yang kuat, baik positif maupun negatif, yang penting untuk regulasi emosi. Namun, pengalaman traumatis atau konflik psikologis dapat mengganggu cara seseorang memandang diri sendiri dan hubungan dengan orang lain. Trauma masa kecil, misalnya, sering kali berdampak pada kemampuan individu untuk mengembangkan narasi hidup yang koheren, sehingga meningkatkan risiko fragmentasi identitas dan gangguan psikologis seperti kecemasan atau depresi (Ningsih et al., 2023).
Konflik psikologis, sebagai ketegangan emosional akibat benturan kebutuhan, nilai, atau tujuan yang bertentangan, memainkan peran signifikan dalam perkembangan identitas, khususnya pada masa remaja. Teori perkembangan psikososial Erikson menunjukkan bahwa masa remaja adalah tahap krisis antara identitas versus kebingungan peran. Ketidakmampuan menyelesaikan konflik ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental, seperti yang sering terlihat pada remaja dari keluarga broken home (Suhartini et al., 2024). Sebaliknya, resolusi konflik yang sehat dapat menghasilkan pertumbuhan pribadi dan penguatan identitas, yang terlihat dari bagaimana individu mengatasi tekanan psikologis melalui dukungan sosial atau keterampilan resolusi konflik (Mawaddah & Prastya, 2023).
Selain dukungan sosial, keterikatan emosional juga berperan penting. Teori keterikatan yang diperkenalkan oleh Bowlby dan dikembangkan oleh Ainsworth menunjukkan bahwa hubungan awal antara anak dan pengasuh menciptakan model kerja internal yang menjadi dasar pandangan individu tentang diri sendiri dan dunia. Keterikatan aman mendukung perkembangan kognitif, sosial, dan emosional yang sehat, sedangkan keterikatan tidak aman berisiko menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan (Putri et al., 2024).
Keterikatan yang tidak aman, terutama akibat pengasuhan yang tidak konsisten atau pengalaman trauma, sering kali tercermin dalam pola hubungan dewasa. Individu dengan keterikatan aman cenderung memiliki hubungan yang stabil, sedangkan mereka dengan pola keterikatan menghindar atau ambivalen sering kali menghadapi kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal (Atsira1 et al., 2024). Intervensi seperti terapi berbasis keterikatan dapat membantu individu mengatasi dampak pola keterikatan yang tidak aman, memperkuat identitas diri, dan meningkatkan kesejahteraan mental secara keseluruhan.
Dengan demikian, memori pembentuk diri dan konflik psikologis saling berinteraksi dalam membentuk identitas dan kesejahteraan individu. Pengalaman masa lalu, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menciptakan pola adaptasi yang maladaptif, namun jika diintegrasikan ke dalam narasi hidup yang koheren, dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadi dan stabilitas psikologis (Christiani et al., 2024).
Menurut House (1981) dalam (Fatimah & Laeli, 2024) mendefinisikan tiga kategori dukungan sosial. Ketiganya berfungsi untuk memberikan rasa aman, membantu individu mengelola stres, dan menyediakan sumber daya konkret untuk mengatasi masalah. Dengan adanya dukungan ini, individu lebih mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu ke dalam narasi hidup yang koheren, sehingga meminimalkan dampak negatif dari konflik psikologis.
1.Dukungan Emosional: ketika seseorang menerima, mendukung, dan merasakan dukungan dari orang lain. Ini dapat berupa dukungan emosional yang diberikan melalui perhatian, penghargaan, dan keintiman interpersonal.
2.Dukungan Informasional: memberikan informasi yang akurat, penjelasan, atau rekomendasi yang berguna kepada orang-orang yang menghadapi masalah atau situasi tertentu.
3.Dukungan Instrumental: bantuan konkret dalam bentuk tindakan fisik atau materi yang membantu seseorang mengatasi masalah atau mencapai tujuan mereka. Ini dapat berupa bantuan waktu, uang, atau tindakan nyata lainnya.
1.4.Pembahasan
Bagaimana trauma dan pengalaman masa lalu memengaruhi kesehatan dan identitas diri seseorang?
Trauma merupakan pengalaman yang sering kali meninggalkan jejak mendalam pada fisik, emosional, maupun psikologis seseorang. Trauma mencakup berbagai kejadian seperti kehilangan orang yang dicintai, pelecehan, konflik berkepanjangan, atau pengabaian. Menurut (Ningsih et al., 2023) pengalaman traumatis pada masa lalu dapat berdampak langsung pada kondisi kesehatan mental seseorang, terutama jika pengalaman tersebut tidak diproses atau diatasi dengan baik. Trauma ini sering tertanam dalam self-defining memories, memori yang menjadi dasar cara individu memandang diri mereka dan dunia di sekitar mereka (Hidayah, 2016)
Trauma tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga memiliki dampak signifikan pada kesehatan fisik. Trauma yang tidak terselesaikan dapat menyebabkan gangguan seperti kecemasan, depresi, dan post-traumatic stress disorder (PTSD), sebagaimana dijelaskan oleh Fatimah & Laeli (2024). Secara fisik, trauma sering kali memicu stres kronis yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme, penyakit jantung, dan penurunan sistem imun (Ningsih et al., 2023). Trauma yang berulang juga dapat memperburuk kualitas tidur, yang selanjutnya memengaruhi performa kognitif, terutama pada individu yang tinggal di daerah pedesaan dengan sumber daya terbatas (Atsira1 et al., 2024).
Pengalaman traumatis memiliki peran signifikan dalam pembentukan identitas seseorang. Menurut (Hidayah, 2016), pengalaman ini sering kali menciptakan narasi negatif seperti rasa rendah diri, rasa bersalah, atau ketidakberdayaan. Hal ini dapat menghambat pembentukan identitas yang kuat dan koheren. Namun, trauma juga memiliki potensi untuk menghasilkan refleksi yang konstruktif, memungkinkan individu untuk menemukan makna dalam pengalaman tersebut dan membangun identitas yang Tangguh. (Mawaddah & Prastya, 2023) menjelaskan bahwa pengalaman traumatis, seperti krisis identitas akibat perubahan besar dalam hidup, dapat menjadi titik balik bagi individu jika dikelola dengan dukungan psikososial yang memadai.
Identitas yang terbentuk dari pengalaman traumatis dapat memengaruhi cara individu menghadapi tantangan hidup dan hubungan interpersonal. Trauma masa kecil, misalnya, sering kali memengaruhi kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang sehat, terutama pada individu dengan latar belakang broken home (Suhartini et al., 2024). Namun, individu yang berhasil mengintegrasikan trauma ke dalam narasi hidup yang lebih positif cenderung memiliki identitas yang lebih stabil dan kualitas hidup yang lebih baik (Hidayah, 2016). Trauma yang diatasi dengan pendekatan sistematik dapat mendorong pemulihan mental dan penguatan identitas diri (Putri et al., 2024).
Pendekatan yang efektif untuk menangani trauma melibatkan intervensi psikologis seperti cognitive-behavioral therapy (CBT) dan trauma-focused therapy. Pendekatan ini membantu individu mengolah pengalaman traumatis, mengganti narasi negatif dengan narasi yang lebih konstruktif, dan meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka (Fatimah & Laeli, 2024). Selain terapi, dukungan sosial dan psikososial juga sangat penting, terutama bagi individu yang mengalami trauma akibat kekerasan atau konflik keluarga (Suhartini et al., 2024). Dukungan ini dapat membantu individu merekonstruksi identitas mereka, menemukan makna dalam pengalaman traumatis, dan membangun kehidupan yang lebih sehat dan seimbang.
Krisis identitas yang tidak terselesaikan dapat menyebabkan berbagai konsekuensi negatif, termasuk kecemasan, depresi, perilaku menyimpang, dan kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal. Sebaliknya, remaja yang berhasil menyelesaikan krisis ini cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi, kestabilan emosional, dan kemampuan untuk beradaptasi dalam menghadapi tantangan hidup (Hidayah, 2016).
Apa saja faktor yang memengaruhi dan bagaimana cara membantu individu dengan krisis mental dan identitas?
Krisis mental dan identitas sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kondisi psikologis seperti tingkat kepercayaan diri, ketahanan emosional, dan pengalaman traumatis masa lalu. Perkembangan identitas sangat dipengaruhi oleh tahap-tahap kehidupan kritis atau masa transisi, di mana individu menghadapi tekanan untuk menemukan jati diri. Faktor eksternal mencakup lingkungan keluarga, hubungan interpersonal, tekanan sosial, serta paparan terhadap stigma atau diskriminasi, konflik dalam hubungan keluarga, pengasuhan tidak responsif, ekspektasi sosial tidak realistis dapat memperburuk krisis ini.
Menurut (Hidayah, 2016) beberapa faktor utama yang memengaruhi krisis identitas meliputi:
1.Pengaruh Keluarga - Pola pengasuhan yang mendukung eksplorasi identitas dapat membantu remaja mengatasi kebingungan. Sebaliknya, konflik keluarga, pengasuhan yang otoriter, atau pengabaian dapat memperburuk krisis identitas.
2.Lingkungan Sosial dan Budaya - Tekanan dari teman sebaya, ekspektasi masyarakat, dan perubahan nilai budaya dapat memengaruhi bagaimana remaja membangun identitas mereka. Remaja sering kali mencoba menyesuaikan diri dengan norma sosial tertentu, yang dapat memperumit proses eksplorasi identitas.
3.Perkembangan Kognitif - Kemampuan berpikir abstrak yang berkembang selama masa remaja memungkinkan mereka untuk merenungkan isu-isu kompleks seperti tujuan hidup, moralitas, dan nilai-nilai pribadi. Proses ini, meskipun esensial, sering kali memicu konflik internal.
4.Trauma atau Pengalaman Negatif - Pengalaman traumatis, seperti kekerasan, kehilangan, atau tekanan akademis yang berlebihan, dapat memperburuk krisis identitas. Remaja yang mengalami trauma cenderung menghadapi tantangan lebih besar dalam menemukan rasa diri yang stabil.
Cara membantu individu yang mengalami krisis mental dan identitas memerlukan pendekatan holistik yang mencakup berbagai aspek. Salah satu metode yang efektif adalah psikoterapi, seperti cognitive-behavioral therapy (CBT) atau trauma-focused therapy, yang membantu individu mengolah trauma, mengganti narasi negatif dengan yang lebih konstruktif, dan memperkuat identitas diri mereka (Fatimah & Laeli, 2024). Selain itu, dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas juga sangat penting. Lingkungan yang mendukung dapat memberikan rasa diterima dan dihargai, sehingga mengurangi perasaan keterasingan yang sering dialami individu dengan krisis identitas (Avellia et al., 2023).
Penting juga untuk memberikan edukasi tentang kesehatan mental dan identitas, yang dapat membantu individu memahami kondisi mereka dan menerima pengalaman masa lalu sebagai bagian dari proses pembentukan diri (Hidayah, 2016). Di samping itu, pengembangan keterampilan coping, seperti manajemen stres, meditasi, dan mindfulness, mampu membantu individu mengelola emosi secara lebih efektif, sebagaimana ditekankan oleh (Mawaddah & Prastya, 2023).
Upaya lainnya adalah dengan meningkatkan kualitas hidup individu melalui perbaikan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan. Hal ini penting karena faktor eksternal yang lebih baik dapat mengurangi beban stres kronis yang sering menjadi pemicu krisis identitas (Atsira1 et al., 2024). Terakhir, pemberdayaan pada individu untuk merefleksikan pengalaman traumatis secara positif dan menemukan makna di dalam pengalaman tersebut dapat memperkuat narasi hidup mereka. Refleksi positif ini menjadi landasan untuk membangun identitas yang lebih optimis dan tangguh (Hidayah, 2016). Kombinasi berbagai pendekatan ini memberikan jalan yang komprehensif untuk membantu individu mengatasi krisis mental dan identitas yang mereka hadapi.
1.5.Kesimpulan
Krisis mental dan identitas merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, termasuk pengalaman traumatis, kondisi psikologis seseorang, lingkungan sosial atau konflik psikososial, dan tahap-tahap kehidupan kritis. Faktor-faktor tersebut dapat menghambat perkembangan identitas yang sehat dan berdampak buruk pada kesehatan mental individu. Untuk membantu individu yang mengalami krisis ini, pendekatan holistik sangat diperlukan. Dukungan sosial yang kuat, intervensi psikologis melalui terapi, serta pemberdayaan melalui pendidikan dan pengembangan keterampilan emosional merupakan langkah-langkah yang efektif dalam mendukung proses pemulihan. Dengan memberikan individu ruang untuk mengolah trauma, mengembangkan narasi hidup yang positif, dan memperoleh keterampilan menghadapi tantangan hidup, mereka dapat membangun kembali identitas yang lebih kuat dan mencapai kesejahteraan mental yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Atsira1, O., Nisa', A., Mahyuddin1, M. H., Rahmatullah1, R., Silia2, A., & Karimah3, A. (2024). Emotional Loneliness in Elderly: Association with Cognitive Performance and Sleep Quality in One of Indonesia's Rural Areas. Jurnal Psikiatri Surabaya |, 13(SI1). https://doi.org/10.20473/jps.v13
Avellia, R. M., Ranimpi, Y. Y., & Pilakoannu, R. T. (2023). Krisis Identitas dan Konversi Agama dalam Perspektif Psikologi Agama: Studi Kasus pada Pelaku Married By Accident (MBA). INSAN Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 8(1), 42--63. https://doi.org/10.20473/jpkm.v8i12023.42-63
Christiani, J. D., Santoso1, A., & Muagiri1, H. (2024). From Loss to Loneliness: The Effects of Prolonged Grief in Elderly. Jurnal Psikiatri Surabaya, 13. https://doi.org/10.20473/jps.v13.isi1.62650
Erlita, B., Anggadewi, T., Guru, P., & Dasar, S. (2020). Solution: Jurnal of Counseling and Personal Development Dampak Psikologis Trauma Masa Kanak-kanak Pada Remaja. 2, 1--7.
Fatimah, S., & Laeli, S. (2024). Pengaruh Konflik terhadap Kesejahteraan Psikologis Remaja. 3(4). https://doi.org/10.56855/jpr.v3i4.1071
Hidayah, N. (2016). KRISIS IDENTITAS DIRI PADA REMAJA "IDENTITY CRISIS OF ADOLESCENCES."
Mawaddah, N., & Prastya, A. (2023). Upaya Peningkatan Kesehatan Mental Remaja Melalui Stimulasi Perkembangan Psikososial Pada Remaja. DEDIKASI SAINTEK Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 115--125. https://doi.org/10.58545/djpm.v2i2.180
Ningsih, K. P., Putri, C. R., & Lubis, S. K. S. (2023). Pengaruh Trauma Masa Lalu terhadap Kesehatan Mental Seseorang. TSAQOFAH, 4(2), 614--622. https://doi.org/10.58578/tsaqofah.v4i2.2337
Putri, L. R., Pembayun, N. I. P., & Qolbiah, C. W. (2024). Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan: Sebuah Sistematik Review. Jurnal Psikologi, 1(4), 17. https://doi.org/10.47134/pjp.v1i4.2599
Suhartini, B., Siahaan, C. W., Kinanti, I. P., & Amelia, M. (2024). Studi Literatur Penelitian Kesehatan Mental Individu yang Mengalami Broken Home.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H