Mohon tunggu...
arina naila
arina naila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Brawijaya

Dalam proses belajar, menulis merupakan hobi saya sejak saya kecil. Saya ingin terus belajar dan mengembangkan minat saya di bidang kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suara Kecil Rakyat: Dari Ketidakpedulian hingga Gelombang Perlawanan

21 Oktober 2024   18:52 Diperbarui: 21 Oktober 2024   19:49 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kali aku bertanya-tanya. Kira-kira, sekecil apa sih aku di mata mereka? Apa aku setidak penting itu sampai mereka tidak peduli? Apakah karena aku bukan dari kalangan pejabat atau dari keluarga konglomerat, eksistensiku jadi dianggap tidak ada? Mungkin memang benar nyatanya bahwa diriku tidak lebih dari angka statistik semata. Aku hanyalah seorang mahasiswa biasa dari keluarga kelas menengah yang tiap harinya bertarung dengan keterbatasan finansial. Melihat teman-teman kuliahku bisa hidup tanpa beban keuangan, terdapat rasa iri yang tidak bisa aku hindarkan.

Sedangkan aku? Daftar beasiswa tidak bisa karena dianggap masih mampu, UKT juga malah lebih mahal dari penghasilan orangtuaku, seakan-akan semua jadi serba salah dan tidak ada solusi yang pasti. Setiap kali aku menonton berita tentang kondisi negeri ini, rasanya mereka seperti lelaki yang selalu ingkar janji. Berkata ingin sehidup semati dengan pasangannya, tapi nyatanya diam-diam pindah ke hati yang lain. Berkata ingin merubah ibu pertiwi, tapi faktanya, kewajiban mereka untuk memenuhi hak rakyat juga tidak mereka lakukan. Rakyat sepertiku tidak pernah minta yang muluk-muluk kok! Hal yang aku minta hanya satu - hak dasar hidupku dan keluargaku bisa dipenuhi oleh pemerintah.

Sebab ketidakmauan mereka untuk memenuhi hak dasar kami, hari-hariku diisi oleh permintaan maaf ibunda, kak maaf ya bulan ini bunda cuman bisa transfer segini, ucapnya lirih lewat telepon. Jarak kami berkisar ratusan kilometer, tapi aku bisa merasakan adanya beban yang berat dibalik kata-katanya. Padahal, seharusnya tidak ada yang perlu dimintai maaf. Aku hanya bisa tersenyum tipis dan menenangkan bundaku, tidak apa-apa bun, ucapku lembut. Jauh di lubuk hati, aku paham betul itu bukan sepenuhnya salah ibunda, ketidakmampuan finansial suatu keluarga adalah masalah struktural yang kompleks. Semua ranah kehidupan itu saling berkaitan : ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan seterusnya. Semua masalah tersebut berputar dan kembali ke satu titik - pemerintah gagal membuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat.

Di situlah letak kekesalanku muncul. Pemerintah yang seharusnya mengayomi rakyat malah sibuk dengan intrik politik. Ketidakadilan terlihat semakin jelas saat pemilu kemarin, disaat Mahkamah Konstitusi diterobos oleh mereka demi melanggengkan kekuasaan. Anak dari si putra kerajaan itu berusaha mencalonkan diri dengan mengubah aturan batas usia. Benar atau salah, serta etis atau tidak, menjadi perdebatan di media secara terus menerus. Padahal jelas bahwasannya terdapat praktik oligarki yang sedang berlangsung di depan mata, dan kita sebagai rakyat tidak bisa berbuat apa-apa.

Selang beberapa bulan setelah kejadian tersebut, tepatnya beberapa hari setelah perayaan kemerdekaan, semua semakin jelas - negeri ini belum sepenuhnya merdeka. Demokrasi yang diperjuangkan oleh para pahlawan di masa lampau kini dikuasai oleh segelintir "wakil rakyat" untuk kepentingan pribadi mereka. Demi anaknya yang kedua, sang raja mencoba lagi untuk menerobos Mahkamah Konstitusi melalui DPR. Rapat rancangan undang-undang akhirnya diadakan secara mendadak, cepat, dan seperti yang sudah diduga, hampir semua partai sepakat. 

Warna biru tua dengan tulisan "Peringatan Darurat" dan tagar #KawalKeputusanMK memenuhi hampir di semua lini masa media sosial. Orang-orang di media sosial menyebut warna biru tua itu sebagai "Blue Resistance", melambangkan perlawanan rakyat untuk memperjuangkan demokrasi yang hampir mati. Aksi demonstrasi besar-besaran pun akhirnya pecah. Mahasiswa, pekerja, ibu-ibu, hingga pelajar turut turun ke jalan. Aku sendiri juga tidak ingin kalah. Rasa bangga menyelimutiku saat berada di barisan rakyat untuk memperjuangkan hal yang sama. Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa aku diselimuti oleh rasa takut - para pemerintah bermuka tebal itu tidak pernah peduli dan bisa melakukan apa saja.

Jam lima sore, ketakutanku terbukti. Waterbomb digunakan oleh mereka untuk mengusir kami. Aku dipaksa pulang bersama mahasiswi lainnya, penuh dengan rasa kecewa dan takut bercampur jadi satu. Perlawananku hanya bisa dilanjut lewat media sosial dengan terus bersuara. Melalui layar ponselku, aku menyaksikan kengerian demo yang semakin malam semakin tidak kondusif. Video-video bertebaran mempertontonkan kekerasan aparat melawan rakyatnya sendiri. Di salah satu video itu, aku melihat bagaimana salah satu diantara pendemo dikerubungi oleh beberapa aparat hingga ditendang tanpa rasa ampun. Wajah, kaki, dan badan orang tersebut menjadi penuh dengan lebam dan luka. Aku hanya bisa menyaksikan video itu dengan kengerian, rasa-rasanya badanku ikut terasa remuk, ngilu seluruh badan.

Sembari mengamati lanjutan demo di media sosial, pikiran-pikiran tak menentu terus berdatangan, apakah usaha kita akan sia-sia? Suara aplikasi Tiktok mengisi keheningan kamarku berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran itu sejenak. Sampai akhirnya, Wakil Ketua DPR menyampaikan pernyataannya resmi melalui konferensi pers, pengesahan RUU tersebut dibatalkan dan pilkada akan dilaksanakan sesuai dengan keputusan MK. Rasa senang, haru, dan lega bercampur menjadi satu, menyelimuti setiap sudut negeri ini, kali ini suara ada di pihak rakyat.

Setelah kejadian tersebut, hari-hariku berjalan seperti biasanya, pagi berangkat ke kampus, siang makan di kantin, malam rapat organisasi, kemudian ditutup dengan tidur di kosan. Tapi, di sela-sela rutinitas yang terus berulang, kerap kali aku berpikir, mengapa mereka baru mendengarkan kita ketika kemarahan rakyat sudah meluap? Kenapa suara yang selama ini terabaikan, baru jadi perhatian jika sudah turun ke jalan? Apakah kebutuhan dasar seperti, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hanya akan dipenuhi jika kita terus marah dan berteriak di jalan? 

Masalah-masalah yang terjadi di negara ini bukan hanya tentang UKT yang tinggi, atau beasiswa yang sulit diakses, tetapi lebih dalam dari itu. Ini adalah tentang bagaimana sebuah sistem politik dimainkan oleh politik dinasti yang penuh dengan ambisi kekuasaan sehingga melupakan rakyat yang seharusnya mereka wakili. Tidak ada jalan pintas lain untuk menciptakan sebuah perubahan yang nyata selain terus bersuara.  Semenjak kejadian kemarin aku menjadi percaya bahwa suara satu orang sangatlah berharga. Mungkin di mata mereka, satu orang sepertiku memang dianggap tidak penting, tapi ketika kita bersatu dan terus bersuara, kita dapat membentuk gelombang kekuatan yang  besar. Ini adalah bukti  bahwa negeri ini masih ada harapan. Perubahan untuk negeri ini harus dilanjutkan - diawali dari satu suara : suara aku, suara kamu, suara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun