Terdapat berbagai aspek yang perlu dipelajari dan dipahami oleh para guru sejak diberlakukannya Kurikulum 13 (K 13). Pelatihan K13 yang diadakan sekolah, kecamatan, kabupaten, bahkan propinsi telah melibatkan banyak guru menjadi bagian dari pelatihan tersebut. Dan dari berbagai aspek dalam K 13 ini penulis tertarik membahas tentang penggunaan aplikasi penilaian siswa. Jadi, dalam K 13 wali kelas tidak repot lagi menulis secara manual nilai UTS dan UAS siswa karena sudah tersedia aplikasi untuk menghimpun nilai setiap mata pelajaran. Informasi penggunaan aplikasi ini penulis dengar dari salah seorang teman yang menjadi wali kelas salah satu sekolah swasta di wilayah Sumenep, Madura.
Aplikasi yang menjadi bagian dari teknologi ini tentunya merupakan kabar yang menggembirakan karena tidak saja mempermudah, tapi juga mempercepat kerja wali kelas, khusunya dalam menghimpun nilai siswa-siswanya. Salah satu kecepatan yang dapat dirasakan ialah pembagian raport, dengan menggunaan aplikasi penghimpun nilai maka para siswa tidak perlu menunggu waktu hingga berminggu-minggu untuk mengetahui hasil prestasi belajarnya.
K 13 sebagai kurikulum yang relatif baru tentunya tidak dapat berjalan linear sesuai cita-cita Menteri Pendidikan. salah satu kendala yang ada pada pihak guru ialah usia. Ya, usia! Mengapa? Para guru senior atau bahasa mudahnya “tua” mengalami kendala untuk menggunakan aplikasi penghimpun nilai ini. Terutama para guru senior yang ada di kampung penulis. Setelah sekian tahun mengajar dan sudah terbiasa menuliskan nilai siswa secara manual (tulis tangan) ternyata saat ini para guru senior dihadapkan dengan teknologi yang tidak semua dari mereka mengikutinya, atau dengan kata lain tertinggal oleh perkmbangan teknologi. Beberapa guru senior tidak dapat menggunakan aplikasi tersebut dengan alasan: (1) tidak dapat mengoperasikan komputer, dan (2) tidak memiliki komputer. Bahkan ada dari guru itu yang berpikir untuk tidak jadi wali kelas saja, karena merasa tidak mampu menggunakan aplikasi penghimpun nilai yang berbasis teknologi. Begitu juga dengan para guru mata pelajaran, yang meskipun dapat menggunakan komputer, namun belum dapat menggunakan aplikasi penghimpun nilai karena tidak memiliki komputer personal.
Maka wali kelas di sini, terkendala dengan kemampuannya dan ada pula yang terkendala dengan para guru mata pelajaran yang masih mengumpulkan nilai siswa pada wali kelas berbentuk manual. Betapa tidak, dengan penulisan nilai manual itu, justru akan mempersulit wali kelas untuk menghimpun nilai dalam aplikasi. Contohnya saja, dalam penilaian sikap masih terperinci dalam beberapa indikator, di mana masing-masing indikator harus dinilai sehingga nilai total dari indikator itu menjadi nilai dari sikap. Masalahnya, dengan penulisan nilai manual banyak guru yang langusng menuliskan nilai sikap tanpa merinci nilai indikatornya, sehingga wali kelas tidak mengetahui pembagian dalam nilai indikator sikap. Jika seperti itu maka penggunaan aplikasi penghimpun nilai belum dapat mempermudah dan mempercepat kerja wali kelas dalam menghimpun nilai para siswanya.
Lalu bagaimana menyikapi permasalahan tersebut? Padahal sejatinya teknologi “can makes you through the future”. Apakah akan ada pelatihan penggunaan komputer bagi para guru agar dapat menghimpun data secara modern sesuai panduan K 13? Atau biarkan saja para guru muda menggantikan para guru senior yang “terhambat usia” atau yang tidak memiliki cukup biaya untuk membeli komputer personal. K 13, di satu sisi memberikan solusi, dan di sisi lain membutuhkan solusi.
Sumenep, 17 November 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H