Mohon tunggu...
Harini Rahmi
Harini Rahmi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Life is a process to transfer our values to others. Make ourself meaningfull anytime anywhere for all people

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Generasi Pemuja Uang Hasil Didikan Siapa?

15 Juli 2012   23:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:55 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi Pemuja Uang Hasil Didikan Siapa?

Oleh : Harini Rahmi

Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia. Fakta ini tentunya bukanlah sebuah prestasi yang membuat kita bangga melainkan sebaliknya. Label tersebut seolah mencoreng harga diri generasi yang berstatus Warga Negara Indonesia.

Di tengah kian maraknya kasus korupsi di tanah air ini maka memaksa hadirnya salah satu lembaga yang diberi nama "KPK". Keseriusan dan kejelian KPK untuk membongkar praktek-praktek Korupsi berhasil membawa sejumlah nama oknum pejabat yang kemudian berstatus sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana kasus korupsi.

Fenomena menjamurnya budaya korupsi ini tentulah tidak tercipta dengan sendirinya tanpa ada kontribusi dari berbagai pihak. Menurut hemat penulis, praktek korupsi terjadi karena para pelaku hidup dan dibesarkan dengan nilai-nilai yang menjadikan uang sebagai prasyarat wajib untuk dimiliki oleh seseorang jika ingin leluasa melakukan hal apapun dan bahkan menjadi tokoh yang disegani.

Menatap mundur saya menemukan sebuah kebiasaan yang hadir di sekitar tempat tinggal saya yang melakukan praktek pemberian uang ataupun hadiah kepada anak-anak sejak dini. Ketika ada sanak saudara yang berkunjung maka dapat dipastikan anak akan diberikan beberapa lembar rupiah tatkala mereka bersalaman. Ini dikenal juga dengan istilah 'salam tempel'. Dari pengalaman penulis 'salam tempel' yang acapkali dilakukan dalam momentum perayaan sebuah hari besar agama maupun acara adat. Selain salam tempel, istilah lain yang memboyong misi serupa adalah 'angpau'.

Sungguh prihatin rasanya tatkala anak-anak kita bahkan generasi muda tumbuh sebagai pribadi yang menghargai orang lain karena uang. Anak akan cenderung lebih menghargai orang-orang yang memberikan salam tempel atau angpau kepadanya daripada orang lain yang justru tak memberikan apa-apa. Dengan salam tempel atau angpau anak akhirnya berkesempatan menyuburkan dompetnya sehingga ia dapat membeli barang-barang yang diinginkannya dengan uangnya sendiri. Tak lagi jadi soal tatkala orang tua tidak membelikan mainan atau barang lainnya yang mereka impikan karena dengan berdalih menggunakan uang sendiri mereka lantas dapat memperoleh setiap hal yang mereka inginkan.

Teman saya bernama David pernah bertutur kepada saya mengenai dirinya yang menjadi sosok yang paling tidak disenangi oleh keponakannya karena dia adalah satu-satunya paman mereka yang tidak pernah memberikan salam tempel barang satu kalipun saat mudik. Pulangnya keluarga dari rantau yang seringkali memberikan pil berisi doktrin penghargaan dan kasih sayang berupa uang melalui aksi salam tempel membuat istilah 'paman yang pelit' harus ditelan oleh teman saya. Kenyataannya, Devid bukanlah orang yang pelit dan bukan pula mempunyai kemampuan ekonomi pas-pasan. Hanya saja Devid adalah pribadi yang lebih senang membelikan ataupun memberikan apa-apa yang dibutuhkan oleh keponakannya namun bukan UANG. Devid memilih mengajak keponakannya untuk memilih dan membeli benda-benda yang mereka inginkan daripada memberikan sejumlah uang kepada keponakannya. Ini adalah sebuah pengalaman menarik bagi saya yang juga bukan penganut 'salam tempel'.

Dilain kesempatan saya juga memiliki sahabat yang sangat wanti-wanti terhadap anak-anaknya untuk tidak menerima uang dari kenalan ataupun sanak saudara. Hal hasil setiap kali ada orang ataupun keluarga [selain ayah dan ibunya] yang memberikan uang kepada sang anak, maka sianak akan menolak. Jika aksi itu terlihat oleh orang tua mereka, maka orang tuanya akan menghampiri orang yang bermaksud memberikan uang dan memberikan pemahaman bahwa mereka memang mendidik anak-anaknya untuk tidak menerima uang dari orang lain. Tak hanya itu, tatkala anak-anak ingin jajan, anakpun ditanamkan pemahaman untuk tidak meminta uang kepada orang lain kecuali ayah dan ibu mereka sendiri. Saya sangat mengapresiasi tindakan bijak dari orang tua seperti mereka ini.

Saat saya berkunjung ke salah satu rumah teman, maka anak teman saya tanpa sungkan-sungkan  meminta uang kepada saya untuk membeli jajanan di dekat rumahnya. Waduh, kecil-kecil kok sudah tumbuh jadi anak yang meminta-minta ya pikir saya sambil tetap memberikannya selembar rupiah.

Meski terlahir sebagai insan yang ikut menerima salam tempel dikala kecil namun saya bukanlah pribadi yang mengakuisisi budaya salam tempel. Jika boleh lebih tegas saya justru sangat menentang budaya salam tempel. Inilah mengapa saya tidak pernah ikut serta membagikan sejumlah rupiah kepada anak-anak bahkan di moment hari raya sekalipun. Aksi ini tentu membuat saya dipandang aneh oleh keluarga namun bagi saya tak jadi soal diperlakukan demikian karena saya paham benar apa yang saya lakukan. Tak ingin menjadi generasi  yang hanya ikut-ikutan tanpa mau melongok ke depan apa dampak dari setiap tindakan kecil yang telah dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun