Masyarakat Sungai Lareh masih Menggunakan KAYU BAKAR
By. Harini Rahmi
Siang ini aku melintasi daerah Sungai Lareh, Kec. Koto Tangah Koto Padang. Jalan di daerah ini sudah di aspal dan tampak sangat bagus, terbukti tidak adanya lobang di sepanjang jalan. Menjelajahi jalan ini saya seperti disuguhi oleh slide – slide yang menampilkan keelokan alam yang seakan tak pernah ada habisnya. Udara yang sejuk tentunya menjadi bonus yang membuatku tak kunjung bosan meski harus menyisiri jalan yang aku sendiri tak tahu di mana tepatnya aku akan berhenti, maklum ini perjalanan pertamaku mengendarai motor sendiri melewati daerah ini. Perjalanan pertama aku lakukan delapan tahun silam itupun dengan mengendarai mobil sehingga aku tidak menikmati setiap jengkal perjalanan itu.
Anak – anak berseragam SD tampak berjalan menuju rumah masing-masing sepulang sekolah. Mereka tak hentinya bergurau satu sama lain, beberapa di antaranya justru menggunakan sepeda. Meski terbilang jarak antara tempat tinggal mereka dengan sekolahnya tidaklah dekat, tapi langkah-langkah kecil itu tak pernah surut dan terus tersenyum menatap dunia. Ketika kami tawari mereka untuk dibonceng agar lebih cepat sampai di rumah, mereka menolak dengan alasan mereka senang berjalan bersama dengan teman-teman yang lain. Mmmm kecil-kecil tapi sangat solider.
Di kiri dan kanan jalan terhampar sawah dan bukit-bukit yang didominasi warna hijau. Beberapa ibu-ibu sibuk mengurus sawah sementara beberapa para lelaki membajak atau mengangkut kaleng berisi pestisida untuk menyemprotkan hama yang terdapat pada tanamannya.
Tak lama berselang, saya melihat beberapa pondok [saung] yang menjual kayu bakar.Jumlah pondok yang menjual kayu bakar di daerah ini terbilang banyak dan dari sini saya bisa menyimpulkan bahwa masyarakat di Sungai Lareh masih mengandalkan kayu bakar sebagai bahan bakar utama. Di saat masyarakat Indonesia umumnya bingung dengan kelangkaan minyak tanah dan LPG, masyarakat di daerah ini justru dapat berdamai dengan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar sehingga dapur tetap ngepul.
Kondisi ini seperti menarik saya mundur beberapa tahun di mana nenek saya yang hidup di kampung kala itu masih memasak di tungku dan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Entah mengapa, dalam benak saya masih terekam nikmatnya masakan yang dimasak dengan kayu bakar. Sampai saat ini, bagi saya masakan yang dimasak dengan kayu bakar tetap lebih enak daripada yang dimasak dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah ataupun LPG. Satu-satunya yang tidak saya sukai dari memasak dengan kayu bakar adalah asapnya sehingga dapur penuh dengan arang yang membuat dapur berwarna hitam.
Saya bersyukur diberikan kesempatan melintasi daerah ini dalam perjalanan menuju suatu tempat yang ingin saya kunjungi. Menapaki daerah yang berada di pinggiran kota Padang iniakhirnya mempertemukan dengan orang-orang yang mampu hidup berdampingan dengan alam secara bijak. Memanfaatkan alam seperlunya tanpa merusak habitat alam sehingga alam tetap setia menyuplai kebutuhan mereka tanpa kenal lelah. Pemandangan dan keadaan ini adalah suatu yang amat langka dan mahal sekali untuk dapat ditemui dan dirasakan di tengah kemajuan zaman yang sepertinya terus melukai alam.
Mereka memang tinggal di daerah pinggiran yangberjarak sekitar 15 km dari pusat kota, tapi daerah ini bukan tergilas oleh pembangunan. Ada listrik, ada jaringan telepon, ada fasilitas internet, ada transportasi umum, dan ada sekolah. Namun pembangunan tak membuat masyarakatnya gelap mata dan mengganti karpet hijau menjadi bangunan beton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H