By. Harini Rahmi
Hadirnya bank-bank berskala nasional maupun internasional tidak lantas menyurutkan para pelaku usaha untuk mendirikan bank lokal [daerah] yang menjadikan masyarakat setempat sebagai target nasabahnya. Saat ini hampir setiap propinsi memiliki bank daerah, termasuk di kota saya.
Sebut saja namanya Bank X. Bank ini terus mengembangkan sayapnya hingga mampu melayani hampir setiap wilayah kota/kabupaten dan desa di provinsi kami. Tak berhenti di sana, Bank ini pun akhirnya membuka cabang hingga ke kawasan Riau, Jakarta, bahkan kota Bandung. Bank XÂ ini pun cukup jeli dalam mengikuti trend pasar, inilah mengapa Bank ini tak saja menyediakan layanan perbankan konvensional melainkan juga layanan perbankan syariah. Kenyataan tersebut ditambah dengan berbagai penghargaan yang berhasil diraihnya tentu merupakan bukti bahwa bank ini memiliki kinerja yang bagus.
Namun di mata saya pribadi, bank ini tidak mampu mengimbangi jenis layanan yang diberikannya dengan kemampuan mereka untuk memberikan layanan prima terhadap nasabahnya. Kreativitas mereka dalam menghasilkan jasa perbankan yang kian beragam ternyata tidak di dukung oleh kesadaran mereka untuk memberikan pelayanan yang exelent terhadap nasabahnya.
Bank daerah ini memiliki beberapa catatan yang justru membuat citranya tidak begitu baik. Bagi saya bank daerah ini gagal dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada nasabahnya. Sebagai catatan, kesimpulan dan beberapa catatan di artikel ini saya buat dari pengalaman pribadi saya selama menjadi nasabah bank tersebut serta hasil pengamatan saya di lapangan tatkala melihat nasabah lain sedang melakukan transaksi di bank tersebut.
Kekecewaan yang sangat fatal saya rasakan adalah tatkala saya berada di kota Bandung. Ada dua catatan saya yang berkaitan dengan kota kembang ini. Pertama yakni ketika saya sedang melakukan transfer antar bank di salah satu ATM yang menyediakan layanan ATM Bersama di Kalapa. Saat itu ternyata mesin ATM error sehingga ATM saya tertelan. Saya segera mengurusnya ke kantor Cabang bank X yang ada di kota tersebut dan ternyata saya tidak bisa mendapatkan kartu pengganti kecuali saya mengurusnya di kantor tempat saya membuka rekening yang notabenenya berada di kota asal yang memerlukan waktu 5 jam perjalanan darat [mobil] plus 1 jam 45 menit perjalanan udara [pesawat] untuk mencapainya. Artinya saya harus melakukan perjalan sejauh itu hanya untuk mengurus ATM? Ini sungguh merepotkan sekali. Hal hasil saya memilih untuk menarik dana dari rekening tersebut melalui buku tabungan kemudian membuka account baru di kota kembang tersebut.
Sejak saya membuka rekening di kantor cabang tersebut, saya hanya melakukan transaksi via ATM yang menyediakan layanan ATM Bersama hingga akhirnya saya hijrah ke kota asal. Saat saya sudah di kota asal, ada suatu keperluan di mana saya membutuhkan cash money yang melebihi batas maksimal penarikan di ATM. Mau tidak mau maka satu-satunya jalan yang ada adalah saya harus melakukan penarikan uang tunai langsung ke Bank X. Sesampai di teller, pihak teller mengatakan bahwa saya tidak dapat menarik uang saya dari rekening tersebut karena buku tabungan saya belum dibubuhi tanda tangan pejabat bank yang berwenang. Sontak saya kaget dan merasa disudutkan oleh suatu kelalaian yang justru dibuat oleh tim mereka sendiri. Sebagai nasabah saya memang tidak pernah memperhatikan buku tabungan apakah ditandatangani pejabat yang berwenang di bank tersebut atau tidak karena itu semua adalah tugas customer service yang melayani kita saat kita membuka rekening tabungan.
Di tengah emosi yang mulai merasuki diri, sayapun beralih ke customer service dengan harapan kiranya saya dapat dibantu. Saat menunggu panggilan dari CS, ternyata saya mendapati ada nasabah lain yang juga mengalami hal yang sama dengan saya. Jawaban CS ternyata tetap sama dengan teller bahwa tanda tangan pejabat bank di buku tabungan adalah mutlak dan untuk itu saya tidak punya pilihan lain selain harus ke Bandung. Betapa anehnya prosedur bank ini, demikian pikir saya. Akhirnya saya memaksa untuk dipertemukan dengan pimpinan CS atau teller. Untungnya pimpinan tersebut mau membantu dengan syarat bahwa saya hanya dibantu menarik tunai uang saya dari bank tersebut satu kali itu saja, berikutnya saya hanya bisa menarik di ATM sebelum saya memastikan buku tabungan saya sudah ditandatangani oleh pejabat bank. Akhirnya, karena saya tidak mau lagi direpotkan lebih jauh, maka saya putuskan untuk menarik seluruh uang saya dan kembali saya membuka rekening baru di bank tersebut untuk memudahkan saya bertransaksi di kemudian hari.
Selain pengalaman di atas, saya juga melihat catatan lain yang cukup merepotkan nasabah di Bank X ini. Setiap kali kita melakukan penarikan tunai [bukan melalui ATM] maka kita diwajibkan untuk melampirkan fotocopy ATM. Selain merepotkan, kebijakan ini juga membuat bank ini praktis menjadi salah satu instansi yang memaksa pohon-pohon harus rela di tebang demi memenuhi kebutuhan manusia akan kertas. Bayangkan berapa banyak arsip fotocopy nasabah yang mereka miliki dan pada waktunya nanti arsip tersebut akan berfungsi sebagai sampah. Jika memang diperlukan kartu identitas maka akan lebih bijak kiranya jika nasabah hanya diminta untuk menunjukkan identitas asli saja kepada teller tanpa harus meminta copyannya sehingga tidak perlu menumpuk sampah bukan? Ini adalah bukti bahwa bank ini tidak ramah terhadap lingkungan dan tidak pula friendly terhadap nasabahnya.
Saya sangat dominan bertransaksi di ATM, sehingga tatkala saya sesekali ke bank tersebut maka buku tabungan saya akan diprint oleh si teller mulai dari transaksi terakhir yang belum pernah di print. Hal hasil jadilah buku tabungan saya habis semua dan tentunya terpaksa mengurus pembuatan buku tabungan baru. ini sekali lagi menurut saya tidak praktis karena saya tidak minta di print dari awal. Namun menurut penjelasan teller, aturan di bank tersebut mengharuskan mereka memprint semua transaksi yang pernah dilakukan di buku tabungan [tidak bisa dipilih sesuai permintaan nasabah, misalnya kita minta diprintkan data transaksi satu minggu terakhir saya]. Kebijakan ini membuat saya kembali DIREPOTKAN karena nyatanya untuk membuat buku baru saya harus ke kantor tempat saya membuka rekening awal [tidak bisa dilakukan di kantor cabang lain]. Saya rasa akan lebih baik jika untuk print out buku tabungan ada batasannya, misalnya teller hanya akan memprint data 1 bulan terakhir sehingga tidak perlu melahap halaman buku tabungan lebih banyak.
Selain itu, saya menilai bahwa teller di Bank X cenderung tidak ramah dan tidak sigap dalam melayani nasabah. Ini pulalah yang membuat saya lebih nyaman bertransaksi via ATM dari pada harus menyaksikan pelayanan yang tidak ramah dari tellernya.