Suara azan segera membangunkan Nur dari tidur lelapnya, tangannya dengan lincah melipat selimut dan merapikan tempat tidurnya. Nur mendekati kaca mungil yang ada di dekat lemarinya. Dipatutnya wajahnya dengan seksama sambil menyisir rambutnya yang berantakan. Dengan mengunakan ikat rambutnya yang sudah usang, Nur segera keluar kamar.
Lantai rumah berderit lemah seirama dengan langkah nur yang segera menuju kamar mandi. Usai menggosok giginya dan berwudhu, Nur menyempatkan dirinya menuju dapur guna memasak air. Nur berlalu menuju kamarnya dan segera menunaikan sholat Subuh. Â Dalam do'anya Nur meminta kekuatan, ya kekuatan agar dia mampu menjalani hidupnya dengan tegar dan tetap penuh rasa syukur.
Nur perempuan berusia 39 tahun itu tak pernah mengeluh atas nasib yang belum segera mempertemukannya dengan jodohnya yang entah di mana. Hari-harinya dihabiskan merawat rumah tua sekaligus menjaga dan merawat mamak yang sudah tua renta. Diabetes, asam urat, dan beberapa penyakit lainnya membuat mamak Nur tak berdaya, dua tahun sudah dia hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur tua. Nur sebagai putri bungsu senantiasa merawatnya penuh kasih.
Hari berlalu, bulan terlewati, dan tahun pun berganti, keponakan Nur satu persatu mulai menikah, namun Nur masih sendiri. Nur melepas keponakannya dengan senyum yang tak pernah berkesudahan meski kuyakin ada segelintir nyeri di ulu hatinya. Kakak dan abang Nur seperti tidak tanggap dengan usia Nur yang hampir berkepala empat. Â Nur seperti terkondisikan semata hanya untuk merawat rumah tua milik keluarga besar sekaligus merawat mamak. Tak sekedar tempat melukis mimpi dikala malam, tempat tidur itu menjadi one stop place bagi mamak, di sanalah mamak makan, mandi,beristirahat, bahkan buang air.
Diusia 83 tahun tak heran jika mamak bertingkah seperti anak kecil, selalu saja ingin didampingi, diperhatikan, dan dinomorsatukan. Lengah sedikit mamak marah dan mengeluarkan kata-kata yang jauh dari kategori indah untuk didengar. Tak hanya pilihan kata, intonasi, bahkan raut muka mamak sangat tak sedap untuk dipandang. Hati Nur teriris, lelah namun tak pernah ada tertutur kata yang tidak pada tempatnya.
Pengabdian Nur sungguh luar biasa. Nur memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, menyetrika, memandikan mamak, memakaikannya pakaian, menyisir rambut mamak, membersihkan mamak ketika dia buang air, menyuapi mamak makan, menemaninya tidur, menceritakannya hal-hal yang membuatnya senang, memeriksa gula darah mamak, menyelimuti mamak, dan semua hal yang dibutuhkan oleh mamak serta merawat keponakannya yang  baru berusia dua tahun (anak kakaknya). Nur pastilah sangat lelah hanya saja tak pernah mengeluh, tak pernah menangis. Bahkan tak jarang Nur masih saja mampu menyisihkan uang jajan keponakannya yang ditinggal ibunya mengajar di Sekolah.
Beberapa bulan yang lalu mamak sakit parah dan dirawat dua bulan di rumah sakit yang terletak di ibukota provinsi. Anak-anak mamak yang lainnya bergiliran menjenguk mamak dan membiayai pengobatan mamak yang tidak sedikit. Nur setiap hari berada di sisi mamak dan melayaninya seperti di rumah sendiri. Mamak mulai membaik dan sudah diperbolehkan pulang, namun karena Nur dan mamak hanya tinggal berdua di rumah tua, maka salah seorang anak mamak meminta mamak tinggal bersamanya. Rumah anak mamak itu tak jauh, tepat di depan rumah mamak. Mamak dan Nur hanya menurut.
Tinggal di rumah sang kakak tak membuat Nur dan mamak lebih baik. Kakaknya yang membuat aneka kue basah dan kue kering tak pernah sepi akan pekerjaan. Nur tentu tak sampai hati hanya menonton. Pasalnya, jenis pekerjaan yang harus dilakukan Nur bertambah lagi yakni membuat kue-kue sesuai dengan arahan kakaknya. Kesibukan Nur membantu kakaknya di dapur tak jarang membuat Nur beberapa kali terlambat melayani mamak. Mamak sedih dan kembali Nur object yang disalahkan, tak semata oleh mamak tapi juga oleh kakak - kakaknya. Bahkan Nur tak obahnya seperti pegawai profesional yang bekerja dalam tekanan kakaknya. Kakaknya memberinya pekerjaan yang tidak sedikit dan dilengkapi dengan batas akhir di mana semua pekerjaan harus selesai dengan sempurna. Sedikit saja telat, Kakaknya akan berang, wajah masam akan menjadi hadiah yang tak tahu kapan akan berubah manis.
Aku berpikir, mampukah aku setegar Nur? Hidup semata mengabdikan dirinya dengan merawat mamaknya. Dalam kesehariannya Nur mampu menjalin silaturahim yang baik dengan para tetangga, namun sayang, tiada satu orang pun kawan dekat yang bisa dijadikan Nur untuk menopang tubuhnya yang lelah atau sekedar berkeluh kesah. Bukan Nur tidak pandai berkawan, tapi Nur hampir tak memiliki kesempatan untuk itu, karena setiap waktu Nur selalu dipenuhi dengan rentetan pekerjaan rumah. Tak ada istilah bermain, tak kenal kata nankring, tak ada jadwal dating, tak ada istilah refreshing. Demikian Nur menjalani hidupnya semenjak ia tamat SLTP dan tak lagi meneruskan sekolahnya.
Ya Tuhan, di tengah  indahnya warna-warni kehidupan dan tidak terbatasnya kesempatan untuk meraih apapun yang kita inginkan, ternyata masih saja ada seorang manusia yang terkurung di luar terali, terbungkus rapat di luar kemasan, dan kesepian di tengah keramaian, dialah Nur. Dan pintanya tak lebih dan tak bukan, hanya meminta sebuah KEKUATAN, agar dia mampu menghadapi setiap goresan nasib yang telah dituliskan dikehidupannya dengan kepala tegak dan hati yang ikhlas.
Sebuah apresiasi untuk Nur atas ketulusan, ketabahan, dan kemuliaan hatinya.