Betapa menyenangkannya menjadi perempuan. Kami selalu bebas mengunggah foto selfie dan membicarakan banyak hal sana-sini. Kami leluasa mengeluh dan membuat drama di media sosial pribadi. Kami bisa memonyong-monyongkan bibir dan berpose kepala miring dengan alis yang telah dibentuk sedemikian rumitnya. Kami marah bila digoda dan dilecehkan namun bebas mencuri perhatian dengan menyembulkan sedikit belahan dada sampai dipuja-puja di lini masa. Kami seolah punya banyak pembenaran untuk marah dan menangis dengan alasan klise yang mengintimidasi ketidak-pekaan kaum laki-laki.
Bagaimana menjadi laki-laki? Seorang laki-laki memiliki batasan dalam berekspresi. Mereka akan berpikir berkali-kali untuk melakukan hal yang sama demi mempertahankan kadar maskulin. Mereka lebih memilih bersikap kalem meski pikiran dan hati porak poranda, bahkan terkesan tidak peduli.
[caption caption="Lukisan Judith Slaying Holofernes, karya Artemisia Gentileschi (Italia, 1611 dan 1622) - allart.biz"][/caption]Seperti inikah emansipasi? Tentu tidak demikian. Raden Ajeng Kartini sebagai simbol perjuangan wanita Indonesia merasa bahwa dirinya harus memperbaiki derajat perempuan agar tidak lebih rendah daripada kaum laki-laki. Perjuangan ini berkaitan dengan aspek pendidikan, ekonomi, sosial, dan banyak aspek lain namun lain halnya dengan penilaian perempuan terhadap laki-laki. Perempuan tidak bisa semena-mena mengeluhkan banyak hal tentang seorang laki-laki hanya karena sikap mereka yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Jika perempuan mengunggul-unggulkan tagline "Perempuan selalu benar", bagaimana dengan deretan kasus yang menjerat beberapa perempuan berikut ini?
Sedikit memutar waktu ke tahun 2011, ketika tersiar kabar tiga perempuan di Zimbabwe telah memperkosa belasan pria. Menurut kompas.com, para laki-laki tersebut ditawarkan untuk menumpang mobil, tetapi kemudian dibius dan dibawa ke tempat-tempat terpencil oleh para penyerang perempuan. Mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seks dengan para perempuan itu, kadang-kadang tanpa mengunakan kondom, dan di bawah todongan senjata. Para pemerkosa kemudian mengumpulkan sperma korban, lalu menurunkan mereka di pinggir jalan.
Ada pula kasus kekejaman perempuan yang dilakukan oleh pelaku penganiaya balita di Serpong, Tangerang. Pelaku ditangkap Awal tahun lalu oleh Polda Metro Jaya seperti yang dikutip dalam kompas.com. Perempuan bernama Riyanti itu diduga melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak usia 2 tahun 7 bulan bernama Marvellio Benekdik hingga korban meninggal dunia.
Yang paling hangat mungkin kontroversi Zaskia Gotik dengan leluconnya mengenai lambang negara yang mengajarkan bagaimana menghibur secara beretika dan membuka mata khalayak bahwa menjadi perempuan tidak hanya harus cantik.
Perempuan tidak melulu harus merasa benar tentang segala hal. Perempuan tidak hanya mampu sekedar memamerkan deretan tas-tas branded, menceritakan kisah sedih, menghujani sosial media dengan deretan kata bijak dan kemolekan tanpa dasar pemikiran luas. Tentu bukan sekedar peringatan hari lahir Rajeng Ajeng Kartini dengan berkebaya 2 hari lagi yang kita tunggu, melainkan bagaimana setiap perempuan mampu menjadikan dirinya hal yang berharga. Jadilah perempuan cerdas, Sista! Kamu adalah rahim dari kemajuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H