Mohon tunggu...
Arina Nur Hidayah
Arina Nur Hidayah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Writer, Dream Cachter

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Editor PPI-Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Milenial Peduli Literasi: Launching Komunitas Pejuang Kata

21 April 2019   11:32 Diperbarui: 23 April 2019   08:12 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dinamika perubahan global terus bergulir, pun demikian Indonesia tidak terlepas dari cengkraman tersebut. Salah satu faktanya adalah revolusi digital yang tidak terlepas dari sendi-sendi kehidupan, kebudayaan, dan masyarakat hari ini. Revolusi digital yang lahir di abad kreatif (abad ke-21) ini sebagai salah satu tandanya. Masyarakat yang hidup di era ini setidaknya menjadikan  informasi, pengetahuan, kreativitas, inovasi, dan jejaring sebagai sumber daya strategis yang tidak dapat dilewatkan. Hal itu dibuktikan dari Asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia tahun 2016 yang merilis data bahwa 65% dari 132,7 juta pengguna internet berada di Pulau Jawa. Juga diperkuat dengan temuan bahwa 40% pengguna internet mengakses internet lebih dari tiga jam per hari.

Yang patut disayangkan adalah jumlah tren penetrasi penggunaan internet Indonesia dikalangan milenial tidak dibarengi dengan tingkat literasi yang sejalan. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat literasi yang rendah. Dilansir dari survei literasi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 di New Britain, Conn, Amerika Serikat, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara. Hasil survei tersebut membuktikan bahwa minat baca dan literasi bangsa Indonesia masih tertinggal dalam dunia literasi. Indonesia harus berupaya keras agara Indonesia dapat mengejar ketertinggalan tersebut, sehingga dapat berjuang dalam percaturan dunia global.

Rendahnya literasi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, seperti kealpaan pranata keluarga dalam menanamkan budaya literasi, serta institusi pendidikan dan lingkungan yang tidak mendukung. Negara yang terkesan kurang serius dalam menanggapi isu literasi sebagai program pokok nasional pendidikan juga turut menyumbang fenomena tersebut. Disisi lain hal itu juga dikarenakan rendahya minat baca, harga buku yang merogoh kocek dan kurangnya akses masyarakat terhadap penyedia buku, perpustakaan misalnya. Dunia digital sebenarnya menyediakan beragam e-book, dan konten bacaan menarik, tapi toh nyatanya hal itu tidak cukup mendongkrak minat masyarakat terhadap budaya literasi.

Milenial hari ini rupanya cukup paham dengan fenomena tersebut. Hingga hari ini kita temukan beragam komunitas baca tulis diberbagai daerah, baik di desa maupun di kota besar. Dengan lahirnya komunitas yang diinisiasi para pemuda semacam inilah setidaknya kita dapat berharap minat baca dapat ditingkat kembangkan. Beberapa kegiatan dilakukan yang dilakukan oleh komunitas tersebut adalah membuka pojok baca di ruang publik, kampanye literasi, kompetisi menulis, diskusi publik hingga aksi. Berangkat dari passion, dan keinginan mengembangkan potensi diri tersebut lahirlah komunitas pejuang literasi yang menyebut dirinya Komunitas Pejuang Kata-kata (KPK).

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun