Dalam pembahasan ini, sangat penting kita memperhatikan pernyataan Syekh Wahbah Al-Zuhaily, dalam kitab al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Juz 6, halaman: 573. Beliau berpendapat bahwa:
الخلافة العظى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها تؤدي معنى واحدا، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا. وقد عرفها علماء الإسلام بتعاريف متقاربة في ألفاظها، متحدة في معانيها تقريبا، علما بأنه لا تشترط صفة الخلافة، وإنما المهم وجود الدولة ممثلة بمن يتولى أمورها، ويدير شؤونها، ويدفع غائلة الأعداء عنها
Artinya; "Istilah gelar seperti al-Khilafatu al-'Udhma, Al-Khilafah, Imaratu al-Mu'minin, pada hakikatnya semua menunjuk makna satu, menunjuk pada tugas yang satu yaitu menguasai jabatan tertinggi pemerintahan. Para kalangan cerdik cendekia Islam telah banyak memberikan definisi, yang keseluruhannya menunjukkan makna hampir sama (mutaqaribah), baik dalam lafaznya maupun maknanya. Itu semua merupakan pertanda bahwa sesungguhnya khilafah itu tidak memiliki syarat berupa sifatnya bagaimana. Yang terpenting dari itu semua adalah eksistensi negara yang diikuti oleh adanya pemimpin yang mau mengurusinya, mengatur warganya, dan menolak segala ancaman yang datang dari musuh negara" (Syekh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, juz 6, halaman: 573).
Jadi tidak perlu mengubah Indonesia menjadi negara khilafah, negara Islam Indonesia, Syariah Indonesia atau sejenisnya. Karena itu nilai, isi, semangat dan ajaran harus ditekankan, bukan? Islam menjadi sebuah negara kesatuan. Ini menunjukkan patologi dan kelainan sosial lebih tajam. Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan beberapa ormas-ormas pendukung Khilafah tidak berbaik hati memajukan gerakan Islam dan damai, tetapi konstitusi mereka justru merupakan gerakan politik yang ingin merebut kekuasaan yang akhirnya berujung pada aksi radikal dan cenderung menyalahkan kelompok lain.
Quraish Shihab mengungkapkan dalam ceramahnya bahwa patriotisme datang secara alami pada manusia. Manusia terbuat dari tanah, maka tidak heran bila nasionalisme, patriotisme dan cinta tanah air menjadi naluri manusia. Keyakinan dan kecintaan Hubbul Watho terhadap tanah air mencerminkan buah dari keimanan seseorang. Sungguh menyedihkan ketika generasi muda kita meninggalkan sikap peduli terhadap sesama, mengubur jiwa patriotisme dan menekankan ketergantungannya pada teknologi.
Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan kesadaran semua pihak untuk menumbuhkan jiwa dan semangat patriotisme pada generasi muda guna mewujudkan cita-cita bangsa dan membangun negeri ini. Pembangunan membutuhkan modal, ilmu pengetahuan dan teknologi, namun yang lebih penting lagi, pembangunan membutuhkan idealisme dan patriotisme sebagai landasannya.
Konsep Hubbul Wathon Minal Iman ini, tidak lepas dari perannya Tokoh NU, Ulama dan Mahasiswa. Dapat diklasifikasikan bahwa asal-usul gagasan Hubbul Wathon Minal Iman dibagi ke dalam periode pra-kemerdekaan.dan setelah kemerdekaan hingga saat ini. Sebelum kemerdekaan, NU dan banyak ormas lainnya baik Kaum modernis dan sosialis telah mengusung semangat nasionalisme. Namun secara konseptual, jelas mengusung konsep Hubbul Wathon Minal Iman merupakan NU, salah satu ormas Islam yang sejak dulu eksis mendukung gerakan nasionalisme.
Konsep Hubbul Wathon Minal Iman dipelopori oleh kaum pesantren (kyai & santri) sebelum kemerdekaan, salah satunya adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah sesepuh dan pendiri NU. Penguatan nasionalisme ini disetujui oleh Presiden Soekarno merupakan saran dan restu dari beberapa ulama' dan kyai pribumi Indonesia yang masih bisa dinikmati hingga saat ini.
Dalam sejarahnya, sekitar tahun 1919, KH. Abdul Wahab Chasbullah bertemu tiap hari Kamis siang di Kota Surabaya dengan dua saudaranya sepupunya, Syekh Hasyim As'yari dan HOS Cokroaminoto. Mereka mendiskusikan hubungan ajaran Islam dengan spirit kebangsaan atau nasionalisme. Kenyataan politik di bawah kolonialisme Belanda menyadarkan aktivis gerakan Islam dan gerakan nasionalis sebelum masa kemerdekaan. Kesadaran itulah lahir berbagai gerakan Islam, seperti NU dan Muhammadiyah yang mempimpin kesadaran berbangsa melalui jaringan masing-masing. Nasioanlisme di dini, dalam arti menolak penjajahan, pencarian jati diri sejarah masa lampau negeri sendiri. Syekh Hasyim Asyari menyadari secara kultural, gerakan Islam dan nasionalis berbeda satu dari yang lain, tetapi dari sudut ideologi berupa kebutuhan akan kemerdekaan adalah suatu bangsa (Bizawie 2016).
Setelah kemerdekaan, misi NU adalah menjaga semangat Hubbul Wathon Minal Iman tetap hidup. Jadi dalam hal ini NU berkomitmen menjaga NKRI dan tidak pernah menginginkan NKRI menjadi negara Islam (khilafah). Maka dari itu, NU selalu selaras dengan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diterapkan dalam Hubbul Wathon Minal Iman.
KH. Abdul Wahab Chasbullah juga mendirikan sekolah Islam disebut Nahdlatul Wathon untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Nahdlatul Wathon menjadi Kawah Candra dimuka ini mendorong pemuda Muslim untuk belajar dan menyalakancinta tanah air dalam perang melawan penjajah. Gagasan Hubbul Wathan MinaliIman tidak lepas dari peran dan perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah memahami semangat Islam dan kebangsaan. Terbentuk dalam bahasa arab tujuannya agar orang belanda tidak mengetahui artinya. Karena kalau tahu artinya, Belanda melawan petani pada saat itu.