Kasus vandalisme di ruang publik kini menjadi sorotan dalam lingkungan sosial. Memahami kasus vandalisme bukanlah sekadar dengan mengenali kerusakan fisik yang terjadi, tetapi juga melihat dampaknya pada psikologi orang yang melakukan tindakan tersebut dan kehidupan sosial masyarakat. Pelaku vandalisme yang paling menonjol adalah para remaja dan siswa. Dengan memahami kasus vandalisme di ruang publik, kita dapat memahami faktor-faktor penyebabnya lalu mengambil langkah-langkah pencegahannya sehingga kita dapat menjaga keindahan serta keamanan lingkungan kita.
Vandalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan merusak harta benda umum atau milik orang lain tanpa alasan yang jelas atau tanpa hak yang sah. Vandalisme terjadi disebabkan karena ketimpangan sosial. Peran orang tua, sekolah, dan lingkungan sekitar sangat penting dalam kepribadian anak-anak mereka kelak. Aksi vandalisme bertentangan dengan nilai-nilai agama, sosial dan hukum yang menghormati hak milik, menjaga keamanan, serta menghargai lingkungan.Â
Vandalisme merupakan sebuah tindak kriminal. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 408 KUHP. Dalam kasus vandalisme di alun-alun Kota Wates, pelaku tersebut bisa mendapatkan hukuman apabila vandalisme dilakukan oleh pelaku dengan cara memaksa korban agar menuruti perintahnya, maka pelaku dapat dikenai pasal 368 KUHP ayat 1. Apabila vandalisme bisa membahayakan orang lain, barangnya, atau bahkan maut bagi orang lain, hal tersebut diatur dalam pasal 200 KUHP. Apabila vandalisme dilakukan lebih dari satu orang, maka kelompok tersebut dapat diancam pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 170 KUHP ayat 1.
Seperti contoh aksi vandalisme di area Alun-alun Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sasaran vandalisme berada di salah satu toilet umum yang terletak di sisi barat Alun-alun Wates. Aksi vandalisme tersebut sudah dilaporkan ke Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPUPKP) Kulon Progo, Budi Purwanta dan mereka sudah mengonfirmasi adanya aksi vandalisme tersebut. Mereka menduga pelaku dari aksi vandalisme tersebut adalah suatu kelompok.
Sementara itu Kepala Bidang Ketenteraman dan Ketertiban Umum, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kulon Progo, Alif Romadhoni mengatakan bahwa pencegahan terhadap aksi vandalisme masih sulit. Maka dari itu, Satpol PP Kulon Progo membuat solusi dengan menggencarkan sosialisasi kepada siswa-siswi mengenai larangan berbuat vandalisme. Selain peran sekolah, Satpol PP Kulon Progo juga berharap para orang tua bisa ikut bekerja sama dalam  mencegah terjadinya aksi seperti ini. Peran orang tua sangat diperlukan untuk memantau pergerakan anak-anak mereka agar tidak bergabung dengan kelompok yang dituduh sering melakukan vandalisme di Kulon Progo.
Dalam mengatasi kasus vandalisme di alun-alun Kota Wates tersebut, faktor yang mendorong kelompok tersebut untuk melakukan vandalisme dapat disebabkan karena kelompok tersebut tidak dihargai oleh masyarakat sekitar sehingga mereka membuat aksi vandalisme untuk menarik perhatian masyarakat. Kelompok yang melakukan vandalisme ini mempunyai motivasi agar kelompok mereka dapat mendapatkan kekuasaan atas lingkungan sekitar dengan melakukan aksi vandalisme yang ternyata malah merugikan lingkungan sekitar. Pelaku diduga mengajak teman sebaya atau kelompoknya untuk melakukan aksi vandalisme karena mungkin norma sosial di lingkungan tersebut kurang diperhatikan oleh masyarakatnya.
Vandalisme merupakan sebuah pelanggaran konstitusi. Kerja sama antara pemerintah, lembaga masyarakat, dan individu sangat penting dalam menanggapi kasus vandalisme. Jika peran ketiganya tidak konsisten dalam misi pencegahan vandalisme, akibatnya vandalisme akan semakin menyebar di lingkungan sekitarnya. Kerja sama tersebut dapat dilihat dalam bentuk kerja sama antara pemerintah lokal, kepolisian, dan organisasi non-pemerintah untuk menyusun strategi pencegahan dan penanganan kasus vandalisme dan memberikan dukungan dan fasilitas kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan mereka agar tetap bersih dan aman dari tindakan vandalisme.
Jika vandalisme masih tetap terjadi, maka solusinya adalah menegaskan kembali fungsi konstitusi, yakni declare (adanya penegasan/pengumuman), divide (adanya pembagian yang tegas), define (mendefinisikan, seperti contoh dalam pasal 1 ayat 3 yang mengatakan bahwa  Indonesia adalah negara hukum), establish (menetapkan), express (memiliki kebebasan dalam hak berpendapat), regulate (peraturan), dan commit( taat peraturan). Selain kontitusi berkaitan dengan kekuasaan dan lembaga kekuasaan negara (formiil), konstitusi juga berkaitan dengan jaminan hak asasi manusia (materiil). Suatu pelanggaran dapat terjadi disebabkan fungsi konstitusi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Konstitusi murni suatu negara menurut Hans Kelsen (1961) merupakan hasil karya para pendiri negara. Jika suatu negara dibentuk secara demokratis, maka konstitusi murni pertama adalah berasal dari majelis konstituante. Suatu pelanggaran dapat terjadi jika pembuat konstitusi murni tidak komitmen dengan peraturan yang telah dibuatnya. Teori ini jika di hubungkan dengan artikel tentang vandalisme di atas, maka pelaku konstitusi murni di sini adalah peran sekolah, orang tua, dan masyarakat yang tidak komitmen dalam mengawasi dan masih kurang dalam menindaklanjuti kasus vandalisme, sehingga vandalisme tetap ada sampai peran ketiganya dapat memenuhi fungsi konstitusi dengan baik.
Referensi: