Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan, Mengapa Aku Miskin?

9 Mei 2024   15:40 Diperbarui: 7 Juli 2024   16:51 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak kecil memanggul karung (pixabay.com/billycm)

Baju seragam yang lusuh, kerahnya menguning dan bagian lainnya ditumbuhi jamur seperti gerombolan semut hitam. Sudah tidak layak pakai. Anwar tidak memiliki pilihan lain selain tetap memakainya karena sang nenek, Mirah, belum bisa membelikan yang baru, toh buat beli beras yang harganya mendadak melambung tinggi pun nyaris tak mampu. Anwar sering menarik kembali harapan akan dibelikan sesuatu yang baru ketika mengingat apa yang ia miliki seperti pakaian kebanyakan hanya didapat dari uluran tangan orang lain. Bocah sebelas tahun yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar itu sering merasa seolah tidak diperkenankan memiliki keinginan lebih dari kemampuan sang nenek dalam memenuhi kebutuhannya. Ia sadar menjadi miskin memang tidak boleh banyak maunya. Keinginan dan harapannya selalu terbunuh oleh keadaan.

Selepas mengganti dengan baju biasa yang itu-itu saja, seragamnya dikaitkan pada paku yang tertancap di tiang kamarnya yang sempit. Sebelum keluar rumah, Anwar juga tak lupa mengamankan sepatu belelnya ke tempat penyimpanan biasa, rak kayu kecil reyot di samping pintu masuk. Rumah yang ditempatinya bersama sang nenek, berupa bangunan non-permanen tua letaknya dekat pesawahan agak terisolasi dari pemukiman warga. Posisi di mana mereka tinggal menjadi bukti kentaranya kesenjangan sosial di desanya. Terpinggirkan. Kandang kambing minimalis bertengger tepat di samping rumah dan rongsokan berceceran memenuhi sepetak halaman belakang, kotoran kambing membuat aroma tak sedap menyelingi segarnya udara pesawahan.

Dalam kesehariannya, Anwar masih memiliki waktu bermain akan tetapi ia lebih memilih menggembala, ngarit atau mengais-ngais rongsokan dikarenakan jika bergaul dengan teman-temannya tentulah harus memiliki uang jajan atau membawa sepeda agar tidak tersisihkan. Satu kambing betina dituntunnya dengan tali tambang menyusuri pematang sawah diikuti tiga anak kambing yang tak berhenti mengembik di sepanjang jalan. Sebuah karung dilipat sekecil mungkin dengan isi arit dikempit tangan kanannya. Anwar pergi menggembala sekaligus mencari rumput untuk pakan. Kambing-kambing tersebut bukanlah miliknya, ia hanya memelihara punya orang lain dengan imbalan satu anak kambing jika sudah waktunya dikembalikan. Nanti ketika kambingnya sudah besar, Anwar berniat menjual bagiannya agar Mirah punya banyak uang atau dikurbankan seperti yang neneknya lakukan tahun lalu.

Kotak-kotak padi di sisi kiri dan kanan yang luasnya sukar diterka itu sudah mulai menguning dan sebagian telah dipanen. Dari kejauhan para buruh serabutan baru beranjak untuk pulang. Di bawah terik yang menyengat Anwar memantau mencari-cari neneknya di antara para buruh itu. 

 "Mak!" panggilnya lantang pada salah satu pekerja. 

Rupanya angin membawa suara itu lebih cepat menepi di telinga Mirah. Sehingga dalam beberapa detik ada lambaian tangan sebagai balasan. Mirah menyahut sembari melempar senyum, lelah yang melekat di wajahnya mengabur ketika melihat cucu satu-satunya itu. Anwar berteduh di dekat gundukan pohon pisang yang cukup memayungi dirinya dari sengatan mentari, kambing-kambing dibiarkan memakan rumput liar di sekitar sana. Selang beberapa menit, Mirah sampai di tempat Anwar menunggu. Anak itu mengangsurkan tangan menyalami tangan neneknya yang dingin akibat seharian berkutat dengan lumpur. Lalu Mirah cepat mengeluarkan rantang dari tas jinjing plastik yang selalu ia bawa ketika berkerja. "Nasinya masih banyak, lauknya pun nggak, Mak, makan," tuturnya, sebersit senyum tampak di wajahnya yang gosong dihajar panas. Anwar mengangguk senang. "Makan enak dong, Mak," kekehnya.

Tak lama Anwar pamit, mereka berpisah, Mirah berjalan ke arah Utara dan ia kembali meneruskan jalan ke Selatan. Anwar beberapa kali menoleh melihat punggung neneknya yang kian berjarak. Alisnya berkerut, menurutnya ada satu hal yang aneh, bibir neneknya begitu pucat. Anwar hapal betul seberapapun lelahnya Mirah bekerja tidak pernah terlihat begitu pias seperti itu. Sakit, kah? Pertanyaan itu mengendap di kepalanya hingga ia sampai di tempat biasa menggembala, bukit kecil dekat hutan. 

Sebelum duduk meneduh di bawah pohon nangka untuk segera menuntaskan lapar, ia terlebih dahulu mengikat tali tambang di tiang bekas gubuk yang sudah lama ditinggalkan dan membiarkan kambing-kambing itu melahap tetumbuhan sepuasnya. Anwar penuh semangat membuka tutup rantang, benar kata neneknya nasinya banyak, lauknya utuh berupa 1 buah semur ikan bandeng. Makanan jatah Mirah pemberian juragan yang memperkerjakannya tadi pun ludes dilahap Anwar. Begitulah kebiasaan Mirah, ia selalu menyisakan makanan untuk cucunya yang seharusnya ia makan ketika jeda bekerja. Selain rasa sayang, alasan Mirah selalu melakukan hal itu untuk mengirit beras, lagi pula ketika di rumah cucunya jarang makan dengan lauk sebagus itu.

Baca juga: Loteng Tante Amara

Setelah makan siang yang dirasakannya sangat nikmat itu, Anwar bergegas ngarit memanfaatkan rumput liar yang melimpah di sekitar sana. Ia jejal karungnya dengan banyak rumput sehingga terisi penuh dan padat yang perkiraannya cukup untuk dua hari bahkan lebih. Makan dan ngarit selesai, waktunya untuk istirahat yang tak jarang malah diisi oleh lamunan atau renungan. Ia kembali duduk, tafakur di bawah pohon nangka berbuah cukup banyak yang sepengetahuannya milik anak kepala desa

Diperhatikannya kambing-kambing yang terlihat jauh lebih bergairah ketika dibebaskan di alam liar. Sapuan angin memunculkan gemerisik deduanan yang cukup gaduh, kesunyian alam yang disaksikannya sukses menyentuh hatinya yang rapuh. "Tuhan, mengapa aku miskin?" lirih Anwar dengan tatapan panjang tak berujung. Seolah mencari tempat di mana letak untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya. Hidupnya selalu susah, perih dan kesepian. Ketika suasana hatinya memburuk otomatis kelebatan wajah ibu dan kakeknya membayang penuh dalam benak. Paru-paru basah yang diderita ibunya sampai-sampai nyawanya habis tanpa banyak tersentuh obat-obatan rumah sakit, menimbulkan kegetiran teramat dalam. Jika kami tidak miskin ibu pasti mendapatkan perawatan tanpa terkendala biaya, begitu pikirnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun