Leo, kepergianmu satu dari banyak luka yang berhasil kutata hingga sakitnya berhasil mereda. Kau menetap jauh dalam hati, membentuk guratan pelangi sebagai kenangan indah dalam memori. Dulu, ketika kau benar-benar pergi, aku menahan sakit dalam diam, menahan perihnya sayatan kehilangan dengan bungkam. Bertingkah biasa saja padahal di dalam tengah retak tak tertahankan. Dalam sikapku yang wajar ada isak tangis tapi aku memilih sok tegar. Kau tahu sendiri, kan? Babumu ini gengsi sekali memperlihatkan kesedihan di hadapan orang lain, seolah-olah menangis adalah hal payah sekaligus memalukan.
Hari-hari setelah ketiadaanmu, hampa cepat menggerogoti. Tidak ada lagi meow-meowmu yang candu dan tatapan sebalmu juga sirna tergerus waktu. Tingkah manja dan galakmu takkan berulang, berakhir hanya sekadar bayang-bayang.
Sejalan bersama keterpurukan, juga menyembul rasa penyesalan. Ya, aku memang bukan babu yang baik, maafkan aku Leo. Aku tidak tahu, apakah aku jadi manusia terbaik di matamu, tapi aku yakin aku adalah manusia yang paling menaruh rasa sayang teramat besar untukmu. Di antara kucing-kucing yang pernah kusayang, kau, Leo, adalah tahta tertingginya. Kau mewariskan trauma, tapi kecintaanku pada spesiesmu membuatku kembali memberanikan merangkul mereka. Namun, mirisnya saat satu persatu dari mereka pergi dengan nasib yang serupa, aku pun harus mengecap luka yang sama kesekian kalinya.
Salam rindu dari babu. Leo Syaputra.
*Tulisan ini sudah lebih dulu diposting di akun medium saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H