"Kalau kata Abangku di dunia fiksi ada persahabatan antara detektif Sherlock Holmes dan Dr. Watson juga Hercule Poirot dan Kapten Hastings. Nah, kalau di kampung kita ada Ali dan Latief, detektif cilik," seru Latief girang.
Kegirangannya dibalas cengiran oleh Ali yang tengah mengipasi dirinya sendiri dengan tangan seusai merapikan sandal-sandal jemaah salat Jumat. "Kita tuh cuma detektif-detektifan," tuturnya, menahan tawa.
Dua bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu tergelak pelan di teras depan masjid sambil duduk, hingga menarik perhatian Pak Saeful, seorang takmir (pengurus masjid) yang baru saja selesai mengambil wudhu. Ia selalu merasa senang dengan Ali dan Latief, karena berkat mereka pekerjaannya mengurus masjid cukup terbantu apalagi dalam urusan bersih-bersih dan keamanan. Zaman sekarang langka sekali ada anak-anak seperti mereka yang senang ikut serta dalam memakmurkan tempat ibadah.
Pak Saeful mengacungkan dua jempolnya mantap pada Ali dan Latief ketika mengetahui sandal para jemaah sudah berjejer rapi. Ia berharap kali ini tidak ada jemaah yang kehilangan sandal lagi seperti sebelumnya yang akhirnya Ali dan Latief harus kembali berkerja keras mencarinya. Di Jumat minggu lalu, seorang warga kampung kebingungan mencari sandalnya yang tidak ada di tempat ia menyimpan yang sebelumnya sudah dirapikan oleh Ali dan Latief. Saat bapak-bapak lain membantu mencari di sekitar masjid yang mungkin saja ada orang iseng menyembunyikannya. Sementara itu Ali bersiap memperkejakan otaknya dengan bantuan Latief. Mereka berdua bertanya pada pemilik warung kelontong di samping masjid dan ke beberapa orang yang barangkali ada di sekitar tempat kejadian di waktu yang berdekatan saat pencurian berlangsung. Setelah merekap informasi, mereka mempertimbangkan untuk mengerucutkannya pada seseorang.
"Kamu yakin dia pencurinya?" tanya Latief sangsi.
"Ya, dari beberapa nama yang kita terima, dia yang paling memungkinkan menjadi pelakunya. Aku bisa menyimpulkan ini, bukan secara otomatis melihat keadaannya dan siapa dia, tapi dari bukti yang tertinggal di halaman masjid."
"Ah, iya, yang dua botol plastik itu?" tanya Latief merasa tercerahkan.
Ali mengangguk takzim, ia langsung mengajak Latief mengunjungi sebuah rumah reyot atau mungkin lebih cocok dibilang gubuk. Mereka tahu pemiliknya tengah di dalam, karena jika siang mereka sudah pulang keliling dari kegiatannya memulung.
"Nah, itu sandalnya. Cocok dengan ciri-cirinya, kan?" Ali berbisik sambil menunjuk sepasang sandal jepit yang ditaruh di atas tumpukan karung kotor yang letaknya cukup tersembunyi.
Latief mengangguk setuju. Sebelum mengetuk pintu untuk membicarakan hal itu, terlebih dahulu mereka pergi ke warung kelontong. Karena si pencuri orang tidak mampu, Ali mengusulkan membeli sandal jepit baru dari uang hasil patungan dengan Latief. Setelah itu mereka kembali ke gubuk dan membicarakan tentang sandal yang hilang lalu menggantinya dengan yang baru. Dengan penuh penyesalan anak pemulung berkata pada ayahnya sambil menunduk malu dan tampak takut, "Maaf Bapak, sandal itu bukan hasil mulung. Tapi aku mengambilnya dari masjid. Aku kasihan sama Bapak yang nggak punya sandal karena talinya terputus. Aku menyesal."