Aku selalu takjup melihat matahari terbenam. Tiba-tiba kudengar suara dari balik punggungku. Suara Fedy. Ia seperti sedang membaca pikiranku.
“Perhatikan Vivian. Yang kamu bilang cantik itu horizon. Ketika sunset, horizon memang sangat cantik warnanya. Tapi sunset itu tidak lah abadi, hanya sebentar saja lalu hilang tertelan gelap,” ucapan Fedy membuatku terhenyak.
“Horizon. Tampaknya itu sesuatu yang sangat menarik buatmu, Fedy?”
“Masih ada kaitannya dengan film Biarawati. Kamu harus membaca skenarionya. Aku dibuatnya tertegun. Ya, dalam urusan percintaan, jarang manusia mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti horizon, border, batas, garis batas, garis yang tak ada, seakan ada dalam penglihatan manusia. Kita melihat kayaknya ada garis antara langit dan laut atau bumi, garis yang membatasi langit dan bumi, garis yang 'mempertemukan' langit dan bumi.”
“Gak ngerti.”
“Garis imajiner. Waktu yang kita jalani pun waktu imajiner, waktu buatan manusia. Banyak ilmu eksakta yang 'pasti' pun adalah sebuah kepastian imajiner. Kita manusia membuat itu semua, hal-hal yang dianggap pasti untuk memudahkan hidup kita sehari-hari.”
“Tambah gak ngerti.”
“Horizon buatku perlambang kepedihan dan kebahagiaan sekaligus di saat yang sama. Horizon itu yang membuat langit dan bumi terlihat menyatu, padahal sesungguhnya mereka tak pernah bertemu, tak pernah menyatu. Memandang horizon membuat manusia selalu ingin menumpahkan segala rasa di dalam hati. Menumpahkan ke langit dan lautan lepas sekaligus. Horizon membuat kita merasa berpisah dan selalu berharap akan bertemu kembali esok hari dengan horizon yang tak pernah sama.”
***
Saat kau memandang jauh ke horizon yang tak berujung, kau menerobos misteri kedalaman diriku.
Ku pasrahkan diriku pada tatapan matamu. Kubisikkan kata-kata magis melalui embusan angin laut untuk jiwamu.