Mohon tunggu...
Arimbi Bimoseno
Arimbi Bimoseno Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Author: Karma Cepat Datangnya | LOVE FOR LIFE - Menulis dengan Bahasa Kalbu untuk Relaksasi | Website:http://arimbibimoseno.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menunggu, Waktu yang Tepat untuk Menulis

23 Juli 2011   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:27 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selamat tinggal slogan "Menunggu Itu Sangat Membosankan." Slogan itu tidak berlaku buat penulis sejati, yang napasnya adalah hembusan tulisannya, yang darahnya semengalir tulisannya.


Seorang penulis kemanapun pergi akan membekali diri dengan peralatan perangnya, yakni kertas kosong dan pulpen atau telepon pintar beserta chargernya. Alat tulis bisa apa saja, jenisnya beragam, dari yang tradisional hingga modern. Intinya, penulis sejati tidak suka menjadikan keterbatasan alat tulis sebagai alasan untuk tidak menulis.


Di mana saja, di sela menunggu, misalnya menunggu kendaraan yang akan membawanya ke suatu tempat, penulis bisa menggunakan waktu menunggu itu untuk menulis. Itulah mengapa slogan "menunggu itu membosankan" tak berlaku baginya.


Penulis sejati juga adalah pembaca sejati. Sebaik apa tulisannya sebaik itu juga bacaannya dan cara membacanya. Bagi penulis, membaca adalah kebutuhan penting yang menempati prioritas utama. Itulah mengapa tulisan seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang dibacanya. Semakin bergizi tulisan seseorang semakin bisa diduga bergizi pula bacaannya.


Penulis sejati kemanapun pergi biasanya tak akan lupa membawa buku untuk dibaca di perjalanan. Sehingga baginya, sambil menunggu pilihannya ada dua, yakni menulis atau membaca.


Penulis sejati bukan hanya membaca buku (makna secara harfiah), tapi juga membaca buku yang selalu terbuka dan bisa ia baca kapan saja ia mau, yakni buku kehidupan. Buku kehidupan terbentang luas. Penulis sejati membaca kehidupan dengan mengamatinya, merekamnya, menggunakan panca indranya dan indra ke enamnya juga. Itulah mengapa juga penulis yang baik adalah pengamat yang baik. Kapanpun dan dimanapun saat menunggu adalah momentum yang tepat untuk melatih kepekaan penglihatan, kepekaan pendengaran, kepekaan penciuman, kepekaan perasaan. Semua kepekaan yang semakin dilatih akan semakin terasa tajamnya.


Semua hasil pengamatan atau hasil rekaman panca indra itu kemudian diolah dalam kepala penulis, diurai, dipilah dan dipilih, dianalisis dengan pisau bedah hatinya, nalarnya/ pikirannya, kemudian diubah wujudnya menjadi tulisan.

.

*dalam-perjalanan-jakarta-surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun