Ketika dokter hendak meminta persetujuan istri dan anak-anaknya sebelum mengambil tindakan amputasi kaki kanannya, pensiunan polisi itu mencegahnya.
"Mengapa dokter minta persetujuan mereka? Ini hidup saya. Saya yang mengambil keputusan. Lakukan apa yang dokter harus lakukan," tutur pria yang usianya beranjak senja itu. Suaranya begitu dalam, tenang, tegas, gagah dan berani.
Pada akhirnya kaki kanannya diamputasi (dipotong sampai dengkul) sebelum penyakit gula menjalar ke atasnya.
Tak ada yang berubah setelahnya. Pria berbadan tegap itu, sorot matanya tetap seteduh dan setegas sebelumnya. Ia tersenyum di tengah keluarga yang sempat mengkhawatirkannya. Ia bercanda riang dengan cucu-cucunya. Ia tetap humoris seperti dulu ketika masih gagah perkasa, saat berjalan tanpa bantuan tongkat penyangga.
Suatu kali cucu perempuannya datang dari kota yang jauh, berdiri terdiam beberapa meter di depannya, berbisik pada Ibunya. "Ma, kakinya buntung," kata dara cilik itu di telinga Ibunya.
Sang kakek tertawa melihat tingkah cucunya. Ia menepuk-nepuk kakinya yang buntung, "Hahaha, kaki eyang dimakan kucing," guraunya.
Wajah pria itu bersinar, tak ada kesedihan apalagi keluh kesah, juga tak ada tatap permintaan belas kasihan. Ia tidak marah pada keadaan. Ia kuat. Ia tegar dalam keberserahan dirinya.
..........
"Badan boleh rusak atau hilang bahkan mati, namun jiwa yang tenang akan tetap damai. Hati yang begitu luas, tidak membutuhkan badan yang lengkap untuk bahagia. Kebahagiaannya tidak tergantung pada keadaan badannya. Demikianlah kebahagiaan yang sempurna."
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H