Jauh dari hingar-bingar. Jauh dari kegaduhan. Jauh dari kebisingan. Jauh dari hiruk-pikuk. Begitu tenang. Begitu damai. Begitu sederhana. Begitu khusyuk. Begitu syahdu. Begitu mengharu-biru. Teduh menyentuh kalbu.
Empat hari tinggal di kampung halaman bagaikan hidup di zaman batu, kembali ke akar, rekaman masa lalu terputar kembali, semua rasanya manis, tak ada yang pahit. Semua kepahitan masa lalu terasa manis kini. Kepahitan yang membuat kuat, membuat berpikir, membuat terjaga, membuat tersadar, sehingga kepahitan apapun itu bentuknya kini rasanya hanya manis dan terus-menerus disyukuri.
Melihat kawan-kawan sepermainan dan seperguruan bertumbuh dan berkembang, senang sekali. Melihat pohon mangga di halaman rumah, batang pohonnya semakin kokoh, akarnya semakin mencengkeram kuat ke dalam tanah, tingginya semakin menjulang, dahannya semakin banyak, rantingnya beranak-pinak, daunnya semakin rimbun, hijau menyejukkan mata, bunga bertebaran di antaranya, mangga-mangga kecil bergelantungan disana-sini, pertanda musim mangga telah tiba.
Kampung halaman dimana jaringan internet sudah lancar dan merata, peralatan komunikasi dunia sudah berada dalam genggaman, namun kesyahduan zaman batu dalam tanda petik melenakan sejenak, enggan menyentuhnya. Ingin sejenak dua jenak menikmati pesona yang terhampar di depan mata, ya alamnya, ya orang-orangnya, semuanya.
Seorang Bapak bertanya padaku, "Jakarta bagaimana, panas?"
Aku menjawab, "Yang panas ya panas, Pak. Yang tidak panas ya tidak panas, hehe...."
Sang Bapak tersenyum manggut-manggut. Bapak yang baik hati, pensiunan, kondisi fisiknya memungkinkannya punya banyak waktu duduk berlama-lama di depan televisi, televisi yang isi pemberitaannya Jakarta sentris. Pertanyaan yang kutahu arahnya ke mana.
Seorang lain lagi bertanya, "Jakarta sering banjir, ya?"
"Yang sering banjir itu biasanya di pinggiran kali yang tak layak huni. Atau kawasan yang dulunya rawa-rawa, juga tak layak untuk perumahan sebetulnya. Atau daerah yang tidak memperhatikan resapan air ketika membangun gedung, entah itu gedung perumahan, perkantoran atau perhotelan, sehingga beberapa jam hujan bisa menimbulkan genangan dimana-mana," kataku.
Hm, tak harus mengasingkan diri ke tempat sunyi untuk memiliki kehidupan sekualitas 'zaman batu'. Di kota besar, kota kecil, sama saja, zaman batu bisa diciptakan dalam hati. Kebisingan yang berasal dari luar diri bukan alasan untuk hati tidak damai. Hati yang damai tak bisa dibenturkan oleh hal-hal bersifat fisik. Hati yang damai bisa menikmati hidup dimanapun kaki berpijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H