Surakarta -Â Sorot lentera diiringi sayup-sayup tembang Durma yang dilantuntan para abdi dalem malam itu seakan menggenapi malam ganjil bulan Ramadan di pelataran kori kamandungan hingga Masjid Agung Keraton Surakarta.
Tepat pukul 21.00, jalan berkelok bertembok tinggi yang biasanya ramai klakson kendaraan mendadak sepi, digantikan suara kain jarik yang bergesekan dengan langkah kaki.
Sambil terus berjalan, orang-orang berpakaian beskap putih lengkap dengan keris dan blangkon itu terus merapal doa dan memanjatkan harapan.
Sama seperti abdi dalem lainnya, malam itu, Wartini (67) juga turut berjalan, menyusuri jalan Supit Urang Kraton Kasunanan hingga Masjid Agung.
Sepanjang jalan, ibu tiga orang anak itu tak banyak berbicara, meski tak begitu hafal ayat yang diucapkan para santiswara, dalam hati ia terus berdoa.
Wartini, para abdi dalem dan masyarakat Solo lainnya menyebut malam penuh doa dan harapan ini "Selikuran" atau dalam bahasa Jawa artinya dua puluh satu.
Bukan hanya perkara hitungan angka semata, selikuran juga memiliki makna lain yakni sing linuwih ing tafakur yang memiliki makna usaha untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Meski kerikil jalan mulai menyentuh kaki-kakinya yang keriput, dan malam semakin larut, ia tak terganggu.
Kumandang ayat suci semakin kencang, pertanda tujuan sudah dekat, di belakang para pasukan pembawa lentera, Wartini pun memasuki pelataran Masjid Agung dengan khidmat.
Berbeda saat perjalanan, sesampainya di Masjid Agung, lantunan tembang mulai berbaur dengan suara riuh pengunjung dan masyarakat yang ingin sekadar menonton.