Oleh: Salsya Putri Tell Aviv Nirahua
Cabang Jakarta Sealatan
Â
Permasalahan perkawinan usia dini/anak menjadi sebuah permasalahan yang mengakar di Indonesia. TIndakan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Anak yang dipksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan yang lebih besar baik secara akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan. Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi.
Di Indonesia, jaminan terhadap hak anak tercantum di dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencegah perkawinan anak kemudian terwujud dengan terbitnya UU 16/2019 yang mengubah Pasal mengenai batas minimum usia perkawinan anak dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan. Dengan terbitnya UU 16/2019, batas minimum usia perkawinan perempuan meningkat dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Namun sayangnya masih kita temuka banyak praktik perkawinan anak dalam masyarakat. Berdasarkan angka absolut diperoleh dari mengalikan prevalensi perkawinan usia anak dengan proyeksi penduduk hasil SUPAS 2015 ditemukan bahwa di Indonesia, terdapat lebih dari satu juta perempuan usia 20 -- 24 tahun yang perkawinan pertamanya terjadi pada usia kurang dari 18 tahun (1,2 juta jiwa). Sedangkan perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum berusia 15 tahun tercatat sebanyak 61,3 ribu perempuan.
Sebagaimana dapat kita lihat dalam sebuah film documenter 'Wadon Ora Didol' (Perempuan Tidak Dijual) berkisah tentang praktek perkawinan anak yang masih terjadi di Indramayu hingga kini. Film dokumenter yang merupakan hasil produksi kolaborasi Pamflet Generasi dan Watchdoc ini juga menggambarkan bagaimana efek perkawinan anak tersebut yang ikut mendorong munculnya prostitusi anak.
Dalam film ini kita bisa melihat hubungan langsung praktik perkawinan anak dengan prostitusi di Indramayu dari hasil investigasi dengan menelusuri tempat-tempat prostitusi yang melibatkan anak Indramayu dan hasil wawancara perempuan yang menjadi pelaku prostitusi tersebut. Akibat lain dari praktik perkawinan anak ini menyebabkan maraknya perceraian karena ketidaksiapan anak untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Hingga dikenal adanya istilah RCTI (Renda Cilik Keturunan Indramayu) yakni janda kecil dari Indramayu.
Praktik pernikahan ini marak terjadi di Indramayu sebagaian besar di sebabkan oleh tuntutan hidup yang tinggi hingga menempatkan anak perempuan harus bisa mencari duit untuk membantu ekonomi keluarga yang disebut dengan istilah luru duit. hal ini diterima sebagai kewajaran oleh masyarakat Indramayu bahkan dengan cara menjual diri (prostitusi) karena kebanyakan perempuan ini kurang mempunyai keahlian.
Meskipun beberapa cara telah di tempuh untuk mengurangi angka perkawinan anak seperti yang Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi di antaranya oleh oleh tiga orang perempuan Rasminah, Endang Wasrinah dan Maryanti. Rasminah adalah perempuan Indramayu yang pernah mengalami perkawinan anak saat usia 13 tahun. Hasilnya tahun 2019 uji materi itu dikabulkan dengan UU no 1/1974 kemudian direvisi menjadi UU no 16 tahun 2019 yang menetapkan usia perkawinan baik laki-laki atau perempuan adalah 19 tahun. Meski demikian masih banyak praktik perkawinan anak yang ada di masyarakat.
Oleh karena itu, menurut saya dibutuhkan peran lebih dari setiap stakeholder dan tokoh-tokoh masyarakat untuk turut serta berperan aktif selain daripada penguatan hukum dan kebijakan yang melindungi anak perempuan dari perkawinan anak  dengan menguatkan langkah-langkah yakni; Pertam, Mengembangkan perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) sebagai upaya terintegrasi pencegahan perkawinan anak dari lembaga non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu dikembangkan. Contohnya seperti di Lombok Barat, dalam PATBM atau Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD), orang muda terlibat dalam melakukan intervensi pencegahan perkawinan anak. Kedua, Memastikan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas tersedia untuk mencegah dan menangani perkawinan anak bagi semua anak terutama bagi kelompok anak yang lebih rentan dibanding anak lainnya. Seperti penguatan program minimal belajar 12 tahun untuk anak perempuan, sosialiasi penyediaan pendidikan dan layanan mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi sejak dini, dan penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas yang inklusif. Ketiga, Mengatasi kemiskinan yang menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya perkawinan anak dengan memadukan pendekatan perlindungan anak, penguatan kapasitas pengasuh utama anak, dan penguatan sistem kesejahteraan anak dalam program bantuan dan perlindungan sosial.