Frasa 'Keturunan PKI' adalah prahara. Istilah ini sudah menjadi senjata ampuh untuk melabeli orang-orang yang berseberangan dalam kepentingan politik. Sejak Era Orde Baru hingga sekarang ini, pelabelan seperti ini masih saja terjadi. Di Pilkada Sumbar 2020, label ini ikut bermunculan. Kandidat petahana yang berpeluang menang lebih besar, difitnah sebagai 'anak PKI'. Parahnya, tuduhan tidak berdasar itu, justru disuarakan pertama kali oleh media daring nasional, Akurat.co.
Media itu memang telah meminta maaf. Mereka mengaku teledor karena menerbitkan berita tanpa sumber yang jelas. Meski begitu, fitnah sudah terlanjur disebar, kerusakan telah terjadi, sehingga nama baik benar-benar harus dipulihkan. Wajar saja jika Gerindra, partai politik yang mengusung Nasrul Abit, masih berencana memperkarakan persoalan ini. Ini sangat penting sebagai pembelajaran, agar ke depan tidak terulang lagi trial by press, penghakiman yang dilakukan oleh media massa.
Fitnah ini menambah panjang daftar serangan kampanye hitam terhadap Wakil Gubernur Sumbar itu. Sejak awal mengumumkan untuk maju dalam Pilkada Sumbar, pasangan calon Nasrul Abit-Indra Catri (NA-IC) tidak pernah lepas dirundung serangan. Memang, sebagai kandidat petahana kans keduanya untuk menang terbuka lebar. Apalagi mereka didukung oleh Partai Gerindra, parpol peraih suara terbanyak di Sumbar pada Pileg 2019 lalu.
Bahkan menurut sejumlah hasil survei elektabilitas, jika pemilu diadakan hari ini, Gerindra masih tetap berjaya. Parpol besutan Prabowo Subianto ini akan unggul telak dengan perolehan suara lebih dari dua kali lipat dari hasil yang bisa dikumpulkan parpol yang berada di urutan kedua. Pantas saja kalau kandidat pesaing menjadikan NA-IC dan Gerindra sebagai lawan utama. Tetapi menjadi tidak pantas, ketika ada pihak-pihak yang ingin memainkan skenario keji dengan melakukan kampanye hitam.
Sejak awal fitnah 'anak PKI' ini muncul ke permukaan, sudah tersaji banyak keganjilan. Pertama, berita tanpa sumber yang jelas ini hanya bertahan selama beberapa menit. Awak redaksi menghapusnya karena menilai berita itu bukan produk jurnalistik, melainkan hanya tulisan opini dari penulis. Kedua, berita itu terkesan disebarluaskan dengan cepat dan terburu-buru. Mungkin mereka sudah mengira, tulisan itu tidak akan bertahan lama di laman situs berita.
Ketiga, para pendengung media sosial yang gencar menyebarkan tulisan itu adalah kelompok yang sering menyerang para kandidat pilkada lainnya. Anehnya, yang mereka serang biasanya hanya dua kandidat saja, sementara yang dua lainnya nyaris tidak pernah disebut sama sekali. Kedua kandidat yang tidak pernah 'disenggol' itu adalah calon yang elektabilitasnya di sejumlah lembaga survei politik paling rendah dan paling tinggi.
Karena itulah, pihak penyelenggara pilkada, baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mencermati persoalan ini. Begitu pula dengan aparat Kepolisian, yang semestinya mengusut siapa aktor intelektual di balik semua fitnah ini. Pasalnya, kampanye hitam termasuk dalam pelanggaran pidana. Pelakunya bisa dijatuhi hukuman penjara dan denda. Rasanya tidak sulit bagi aparat untuk mengungkap siapa dalangnya. Apalagi, jika melihat konteks besarnya, siapa lagi yang diuntungkan dari pemberitaan fitnah terhadap seorang kandidat, selain lawan politiknya dalam ajang kontestasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H