Mohon tunggu...
Rika Febrian
Rika Febrian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berfikir Waras Menyikapi Kondisi Bangsa Saat ini (I)

24 Januari 2017   02:25 Diperbarui: 24 Januari 2017   02:40 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Ahok dilaporkan sampai menjadi terdakwa dugaan kasus penistaan agama, kondisi bangsa Indonesia semakin membingungkan. Aksi saling lapor dan saling bully menjadi tren, berita dimedia mainstream juga tidak lepas dari topik tersebut.

Begitu hebatnya Ahok, sejak dirinya menjadi pesakitan bangsa Indonesia juga diguncang prahara. Mulai dari tuduhan makar, penghinaan pancasila, bendera merah putih, palu arit dan banyak lagi. Budaya timur yang menjadi ciri khas Indonesia menjadi pudar dan berganti era kebebasan tanpa aturan.

Penegak hukum yang diharapkan memakai kacamata kuda dalam menegakkan hukum seperti terseret dalam pusaran kepentingan. Hukum yang seharusnya adil bagi semua, terkesan menjadi alat untuk menekan salah satu  pihak. Penegak hukum seakan lupa siapa "Panglima" mereka. Bukan semua penegak hukum, tapi oknum tertentu yang takut jabatannya hilang.

Kita contohkan terkait kasus pembawa bendera merah putih bertuliskan arab, si pembawa telah ditangkap oleh polisi. Tapi ada yang membakar bendera merah putih, tapi belum juga diusut tuntas. Disisi lain penghina lambang Negara Zaskia Gotik malah masih berlalu lalang dengan riangnya. Padahal pernah dilaporkan, dan apakah polisi beranggapan hal itu bukan pelanggaran terhadap hukum?

Bagaimana pula terkait dengan coretan diatas merah putih yang ada tulisan Metalica, kita Indonesia, Orang Indonesia dan Slanker. Apakah polisi telah menerapkan sisi adil dalam penegakan hukum?.

Lalu terkait palu arit didalam uang baru, apakah salah jika seseorang mengingatkan kalau ada potensi munculnya aliran komunis. Jika dilarang, artinya rakyat tidak boleh lagi menyampaikan sesuatu yang sebenarnya membantu Pemerintah dan penegak hukum.

Jika terkait dengan tuduhan makar, dalam sejarah dunia, makar itu dilakukan dengan persenjataan. Perbuatan makar yang dituduhkan kepada Sri Bintang Pamungkas seperti dipaksakan demi meredam aksi 212 yang menjadi aksi terbesar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Mari kita coba kilas balik bagaimana penegak hukum mengusut laporan hingga kejadian-kejadian yang terjadi. Saat isu rush money mulai bergulir, polisi secepat kilat mempertakut dan mencari siapa sosok yang menyebarkan isu. Saat bendera negara lain (China) banyak berkibar, polisi kok terkesan menutup mata dan telinga. Padahal itu melanggar aturan yang ada.

Lalu terkait dengan munculnya bahaya komunis, polisi malah sibuk mengusut yang menyebarkan isu. Padahal sudah banyak bukti kalau logo palu arit beredar ditengah masyarakat. Mulai dari baju, bendera hingga akun media sosial. Tapi sudah berapa yang diusut oleh pihak kepolisian?

Laporan terhadap Buni Yani ditanggapi oleh polisi, tapi laporan terhadap Boni Hargen belum ada titik jelas. Padahal Boni sangat jelas menyebarkan kebencian dan fitnah. Hal ini memunculkan dugaan Boni tidak diperiksa karena dia punya kedekatan dengan  Jokowi.

Saat terjadi gesekan antara massa FPI dengan GMBI, polisi seakan hanya menyalahkan FPI, padahal dalam video yang ramai dimedsos sangat jelas kalau massa GMBI melakukan tindakan kekerasan dan ada bukti kalau mereka membawa balok dan ada kata-kata untuk menyerang. Tapi kok belum ada tindakan dari pihak kepolisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun