Di jelang Lebaran, biasanya bapak ibu mengajak saya dan kakak-kakak untuk beli baju baru di toko-toko yang ada di sepanjang Jalan Kajoetangan. Tentu saja membeli baju adalah ukuran "kemewahan" di tahun 1970-an dan saya pun alhasil hanya bisa bangga dengan baju baru yang dibelinya setahun sekali.
Mendiang ayah saya yang menjadi anggota TNI-AD berpangkat bintara, paham betul dengan kesukaan saya menonton film perang. Film-film yang saya gemari adalah kisah Perang Dunia ke-II. The Dirty Dozen, A Bridge Too Far, dan Tora-Tora  adalah film-film perang yang pernah saya tonton di Gedung Bioskop Merdeka. Bahkan dalam semalam, saya berdua dengan ayah sempat menonton dua film perang secara berurutan di dua bioskop yang berbeda, yakni di Gedung Bioskop Ria dan Surya. Jika Merdeka Theater di Jalan Kajoetangan maka Ria dan Surya berada di dekat Alun-Alun, yang tidak jauh dengan Kajoetangan.
Bagi saya Kajoetangan bukan sekedar nama sepenggal jalan protokol di pusat Kota Malang. Kajoetangan yang telah bersalin nama menjadi Jalan Basuki Rahmat begitu menyimpan banyak memori.
Toko Mainan Lido di perempatan jalan Kajoetangan dengan Bromo adalah "surga" bagi saya dan anak-anak ketika itu. Jika anak-anak dari keluarga berada berwajah gembira usai menggamit mainan baru, saya cukup "memvisualkan" mainan yang saya sukai. Kakek akan berusaha mencarikan di pasar rombeng atau barang bekas di perkampungan di belakang Kajoetangan. Jika beruntung, kakek saya bisa menemukan mainan "mobil-mobilan" yang saya impikan.
Dereten toko-toko disepanjang Jalan Kajoetangan begitu lekat di benak saya hingga sekarang. Ada toko yang khusus menjual tembakau dan cerutu. Ada toko yang khusus menjual mesin jahit bermerek "Singer", ada kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) tempat warga bisa membaca koran "Bhirawa" atau "Merdeka" Â dengan gratis karena terpampang di papan berkaca.
Metamofosa Kajoetangan
Melihat perkembangan Kajoetangan, Malang saat ini saya menjadi teringat dengan Ernest W Burges. Dalam bukunya yang berjudul "Introduction to the Science of Sociology (1921)", Â disebutkan kalau manusia punya kecenderungan alamiah untuk berada sedekat mungkin dengan pusat kota.
Kajoetangan sesuai perkembangan zaman, kini telah terimbas dengan kemajuan zaman dan perubahan wujud kota. Ciri-ciri pertokoan modern yang membutuhkan ruang parkir yang memadai  tidak lagi bisa diakomodasi Kajoetangan. Perubahan pola  bisnis baru juga meniadakan keberadaan toko-toko lama. Kini Kajoetangan bersolek rupa menjadi kawasan kuliner dengan memanfaatkan keberadaan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh dan terawat.