Oleh: Ari Junaedi
"Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya, karena dihadapan kopi kita semua sama."
Selarik puisi tentang kopi yang ditulis Vergie Crush ini begitu menempatkan kopi pada posisi setara dihadapan para penikmatnya. Kopi tidak membeda-bedakan kelas, semua bisa menikmati kopi dengan caranya masing-masing.
Saat mengunjungi daerah-daerah di luar Depok, Jawa Barat, saya kerap ditanya oleh para pengundang acara yang saya hadiri ke tempat mana yang akan menjadi tujuan pertama? Pengundang merasa harus melayani saya dengan baik agar saya merasa betah dan nyaman di tempat tinggalnya.
Saya selalu menyebut; warkop! Yaah, warkop merupakan akronim yang memiliki kepanjangan dari warung kopi. Di beberapa daerah, sebutan kedai kopi juga masih jamak didengar sementara di kota-kota, orang semakin terbiasa dengan nama caffee.
Warkop bagi saya tidak sekadar tempat "ritual" melepaskan penat dengan mencicipi cita rasa kopi. Seperti kebanyakan penikmat kopi lainnya, meminum kopi seperti halnya menambah "dopping" agar tetap semangat menghadapi beragam aktivitas.
Usai minum kopi, serasa ada tambahan energi dan memudahkan inspirasi mengalir. Tidak jarang, warkop adalah medium eksekusi ide menjadi langkah kerja yang harus saya lakukan bersama anggota tim. Warkop juga menjadi tempat favorit menuangkan gagasan menjadi narasi panjang.
Jika saya tiba pagi di Pontianak, Kalimantan Barat dengan penerbangan paling awal dari Bandara Soekarno Hatta, maka Warkop Asiang menjadi rujukan yang pertama. Dengan jam buka sejak pukul 3 dinihari, kendala check in kamar hotel di Pontianak bisa diatasi dengan mudah tentunya dengan ngopi di Warkop Asiang dulu