Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Elegi Sang Guru

12 November 2024   11:01 Diperbarui: 12 November 2024   11:06 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guruku (Sumber: Tumisu/pixabay.com)

Guru. Kelasku begitu berisik, kelasku begitu sibuk, kelasku dipenuhi tangisan, kelasku dipenuhi keceriaan dan kelasku dalam keberingasan. Kelas-kelas dalam tembok-tembok tinggi itu menjadi ruang tersembunyi dan penuh janji. 

Bagaimanapun  kelas terjadi, guru dianggap memegang kendali. Guru menjadi raja tanpa batas yang berkuasa di kelas. Apapun yang terjadi guru harus tegah berdiri, di depan kelas menjadi panglima yang siap mengajak setiap murid sanggup menjadi manusia hebat tanpa noda. 

Guru bertangung jawab melenyapkan kebodohan, guru bertanggung jawab mengusir ketidakadilan, guru harus menjadikan jutaan murid hebat, guru harus menciptakan murid-murid berkarakter kuat, guru harus membuat setiap murid menjadi pengusaha, pejabat, dan penguasa. Guru tidak boleh salah, tidak boleh gundah, tidak boleh menderita, tidak boleh bersedih, karena menjadi guru harus tetap kuat dalam terpaan angin topan kehidupan dan pekerjaan.  

Guru tidak akan menjadi manusia hebat jika satu kesalahan dibuat. Tangis di kelas, kesedihan di sepanjang perjuangan, kadang-kadang guru-guru meneteskan air mata, tapi guru harus terus berjuang sendiri dalam kegelapan.  Melenyapkan kebodohan dan janji hebat anak zaman, wajah guru terhina dalam tembok kemajuan. Aku berdiri diantara guru-guru yang mencoba bertahan mengepalkan semangat kebebasan untuk anak-anak tercinta.

Guru tidak boleh salah, tidak boleh gundah, tidak boleh menderita, tidak boleh bersedih, karena menjadi guru harus tetap kuat dalam terpaan angin dan topan kehidupan dan pekerjaan.  

Kisah sang guru

Kisah tentang guru honorer Supriyani (37) asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang diduga memukul muridnya, masih terus bergulir. Kasus ini berawal ketika Supriyani diduga memukul muridnya di SD Negeri 4 Baito, Kecamatan Baito, Konawe Selatan dengan sapu ijuk hingga memar pada 24 April 2024. Sang murid merupakan anak dari Ajun Inspektur Dua (Aipda) Hasyim Wibowo, Kepala Unit Intelijen Polsek Baito. Meski Supriyani membantah tuduhan itu, orangtua korban justru melaporkannya ke Polsek Baito. (1)

Tidak cukup dengan laporan ke Polsek Baito, kini sang guru pun harus menghadapi tuduhan pencemaran nama baik. Bupati Konawe Selatan, Surunuddin Dangga kini melayangkan somasi kepada Supriyani. Guru honorer itu dianggap mencemarkan nama baiknya. Somasi ini dilayangkan usai Supriyani mencabut surat damai yang diinisiasi oleh Pemkab Konawe Selatan. Pencabutan surat perjanjian damai itu dilakukan karena Supriyani mengaku berada dalam kondisi tertekan dan terpaksa saat menandatanganinya.(1)

Karena sejatinya, seorang guru tidak akan mendidik setiap anak menjadi robot, patung atau arca  semata.  

Tetap bertahan 

Supriyani mungkin bukan satu-satu guru yang harus berhadapan dengan hukum dan penguasa. Sang Guru harus berhadapan dengan ketidakadilan penghasilan, intoleransi di tengah keberbedaan, kemiskinan moral, dan beragam tuntutan administratif.  Namun, ratapan tak pernah nyata, aksi pun harus selalu ada, guru harus tetap berhadapan dengan begitu banyak realita di dalam keluarga, di dalam masyarakat, dan di sekolah. Karena sejatinya, seorang guru tidak akan mendidik setiap anak menjadi robot, patung atau arca  semata.  

Kisah-kisah  perjuangan guru memang belum usai. Suara-suara sumbang masih nyaring terdengar. Aturan dan kebijakan  terkadang menghantui antara membela dan menenggelamkan karier semata.  Peluh memenuhi sekujur tubuh, rasa duka tak terelakkan. 

Bukan hanya bertahan dalam kebutuhan diri dan keluarga, guru-guru di negeri ini terseok-seok mempertahankan kehidupan. Namun, cinta dan pilihan hidup menjadi guru tak menumpulkan kehendak untuk bertahan meski terkadang  sang guru hanya menjadi antagonis sejarah belaka. 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun