Stasiun. Tumpukan penumpang memadati stasiun. Semakin siang tak tertahankan, berebutan menjadi cara hidup untuk bertahan, tempat kerja adalah tujuan. Berdesakan dan terus mempertahankan seluruh badan agar selamat dan tidak terlambat sampai tujuan, aku tetap diri untuk terus bersabar.Â
Saat memulai perjalanan pukul enam pagi, kereta tetap saja dipenuhi pekerja-pekerja kota. Di setiap stasiun siaga masuk kereta adalah cara hidup rombongan kereta (roker). Pantang menyerah dan pantang tertinggal di kereta berikutnya menjadi perjuangan  kehidupan pelanggan kereta. Apalagi hari Senin tiba, bukan sekadar berdesakan,  napas lega di dalam kereta hadir dalam mimpi sesaat sepanjang perjalanan menuju tujuan.Â
Kereta-kereta yang berurutan tiba adalah selalu menyimpan narasi cinta yang tak berkesudahan.Â
Meski tertutup rapat dalam pengamanan ekstraketat, naik kereta menandai awal mula perjuangan panjang hari, yang terus saja menyisakan tumpukan harapan pada kisah panjang kehidupan. Ada keluarga yang selalu menunggu, ada kekasih yang selalu setia, ada anak yang tak habis bercerita, ada penggalan kisah membela keadilan, ada gerutu penumpang, dan begitu banyak ada diam bersikutan.
Kereta-kereta kota memang telah melahirkan nada sumbang tantang persamaan derajat, persamaan nasib dan persamaan hidup. Seteguk harapan dalam gerbong-gerbong kereta terbawa sampai ujung malam tiba. Tak ada rasa lelah, tak ada putus asa, dan tak ada luka menganga menunggu kereta-kereta itu tiba.Â
Ada keluarga yang selalu menunggu, ada kekasih yang selalu setia, ada anak yang tak habis bercerita, ada penggalan kisah membela keadilan, ada gerutu penumpang, dan begitu banyak ada diam bersikutan.
Terus saja terdiam dan menunggu cerita mula hari tiba, keretaku tetap meluncur tanpa tahu waktu. Terkadang waktu-waktu di lembaran-lembaran peron hanya sebatas rencana, terlambat tiba menumpuk rasa. Aku tak lelah, terduduk menyingkap bayangan masa lalu saat kereta-kereta membawa penumpang bergelantungan menentang nasib baik tiba. Kini, peristiwa pilu nan menyakitkan itu kelam terasa terus merusak makna berkereta.Â
Ratusan ibu-ibu dan anak-anak mulai memadati setiap stasiun. Sejak pagi harapan dan keinginan untuk berwisata murah terdiam dalam benak kelaurga-keluarga muda yang jauh dari kota. Ada sebuah keinginan membahagiaan sang anak, sekadar menghabiskan waktu atau menemukan cerita dan semangat hidup baru. Tak perlu mahal merogoh saku, harapan ratusan penumpang  terpaku ketat pada peron-peron kereta, apalagi  hari Sabtu dan Minggu segera tiba.Â
Tetap berjuang mulai ufuk tiba, memenuhi gerbong-gerbong dalam beragam cerita. Suara-suara, cerita-cerita bermacam tema terlontar dan saling berebut nada. Meski dalam satu atau dua peron stasiun selalu bertambah dan semakin padat, suara jeritan anak dan wanita tua terkadang terasa menyesak memenuhi iba. Terus saja peristiwa itu tenggelam dan berubah, karena wisata ke Kota Jakarta adalah mimpi akan lahirnya harapan mulia untuk sang anak tercinta.
Terus saja peristiwa itu tenggelam dan berubah, karena wisata ke Kota Jakarta adalah mimpi akan lahirnya harapan mulia untuk sang anak tercinta.Â
Kereta kota dengan kemurahhatian yang dicipta telah melupakan makna kemiskinan yang ada. Rakyat menikmati liburan akhir pekan,  menikmati cerahnya  keanekaragam kota, menyapa riuhnya segala persoalan kota besar, dan harapan terpenuhi segala kebutuhan. Laju kereta kota sepanjang hari membawa mimpi ribuan warga pinggiran menyambut asa.Â