Puisiku. Pelukan itu mendinginkan emosi yang terus bergejolak dalam tubuh yang begitu rapuh. Luapan emosi dan kesadaran terhenti tatkala bisikan hati mendidih dalam luapan keberingasan.Â
Seorang lelaki, rambut putih mulai memudar, dengan lekukan kulit keriput yang terus menggerogoti tubuh tampak berdiri kokoh di sebuah ruang kelas. Sebuah buku begitu erat melekat di sela-sela jemari yang tampak gemetar. Raut mukanya masih tampak begitu gagah, dengan mata yang bersinar begitu kuat, suaranya terdengar menggelegar memenuhi ruangan dalam dinding-dinding yang dipenuhi coretan. Ruangan ini tidak menampakkan diri sebagai sebuah kelas yang memunculkan tokoh-tokoh hebat. Kelas kotor tanpa keangkuhan. Kelas kumuh tanpa cahaya. Sepi.Â
Lelaki berbaju batik kecoklatan terus saja membacakan kata demi kata yang terangkai dalam sebuah buku lusuh. Buku dengan coretan tangan, sebuah kumpulan puisi dari anak-anak yang telah dua tahun lalu mengisi ruangan yang sama. Rangkaian puisi itu telah menjelma menjadi catatan harian anak-anak kebanggaannya. Buku lusuh tanpa sampul itu seolah telah menjadi kitab yang harus dia ajarkan untuk anak-anak masa depan.Â
Ruangan ini tidak menampakkan dirinya sebagai sebuah kelas yang memunculkan tokoh-tokoh hebat. Kelas kotor tanpa keangkuhan.Â
Membaca puisi, meneriakkan kata demi kata. Â Begitulah setiap kali lelaki tua berdiri di depan kelas, mengajar, menghabiskan dunia bersama murid-murid kesayangannya. Tidak ada penjelasan, tidak ada serangkain omong kosong yang terus disampaikan. Dalam rangkaian puisi yang setiap hari dibaca, setiap hari pula setiap murid hanya mendengarkan kata demi kata. Meski terkadang kata-kata kosong tak bermakna, setiap hari kata-kata terus terangkai, mengisi hati,dan kepala bocah-bocah yang mulai lepas dari masa ingusan. Suara lelaki itu membuat seisi ruang gelap itu sunyi dalam ketermenungannya.Â
Lelaki itu tidak lagi sebagai seorang guru yang terus-menerus memenuhi kepala anak-anak zaman, menumpahkan keruwetan hidup yang dialami, atau mengumbar emosi karena luka hati yang tak terobati. Setiap kata telah menyulut emosi anak-anak yang begitu terdiam dalam kedalaman makna tak kunjung hilang. Segalanya bercampur dalam luapan naluri tak henti hingga belajar bukan sekadar memenuhi kepala dengan rumus-rumus yang begitu menyiksa.Â
Setiap kata dalam bait-bait puisi telah mengaduk-aduk keteduhan yang terus dipertanyakan, mengharu ingatan, mendendam kedengkian dan terus menusuk daya yang mungkin saja usai seiring bel sekolah selesai. Guruku terus menata kata, mengeja kata dalam larih-larik puisi. Karena sebuah cinta dilahirkan dari rahim keindahan, bukan sebuah tamparan atau tendangan. Karena kasih terus-menerus disiram makna kata yang tak pernah tersembunyi dari ketidakjujuran dan kebencian.Â
Segalanya bercampur dalam luapan naluri tak henti hingga belajar bukan sekadar memenuhi kepala dengan rumus-rumus yang begitu menyiksa.Â
Puisi itu telah menjelma menjadi seutas bukti cinta kepada anak muda yang tak pernah selesai melukis dirinya. Â Puisi itu melindungi harapan jutaan anak muda untuk tetap hidup dalam mimpi-mimpinya. Puisi itu membangkitkan teriakan untuk melepaskan diri dari kesombongan, kecongkakan dan kedengkian. Dalam puisi itu, anak-anak muda merindukan cinta tanpa tamparan kebencian. Â