Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terhenti Memeluk Waktu

27 Agustus 2024   08:15 Diperbarui: 27 Agustus 2024   08:42 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesan tanpa kata (Sumber: dmncwndrlch-pixabay.com)

Waktu. Seketika waktu terbebas lepas, melayang, menembus gelap awan yang tak kunjung reda merenda setiap peristiwa. Gurat kisah tak pernah padam, meski terhenti lepas pada sebuah halte kehidupan. 

Seharusnya kata-kata tidak menjadi pedang nan tajam mengguru rasa dan melelahkan sukma. Tak berdaya, dan terus menyiksa, makna-makna terekam hingga usai senja menerawang malam. Meski sesekali teriakan dan anggukan seorang ayah memanggilku untuk terus pulang, pulang dalam senja berkepanjangan. Suaranya dan kata-katanya selalu menggeliat, memenuhi hati yang terus dilanda gulana tak berkesesudahan. 

Lama nian kisah padam menderu, tertunda dalam setiap rupa. Langkah demi langkah, kata demi kata dan makna demi makna seolah hanya sebatas peristiwa tak bermakna meski hadir menggila dalam rajutan peristiwa. Sebuah rasa terus saja menghantu saat batin dan jiwa terus saja dilanda keresahan tak usai. Namun, pagi begitu saja datang tiba-tiba dan senja menghadang tanpa gejolak, cepat dan secepat kebohongan menggurita. Aku masih saja terhenti pada halte yang sama bulan lalu dengan jejak yang masih begitu jelas. 

 Di sini, di tengah kota yang dipenuhi lalu-lalang pekerja dan pencari kerja, aku sibuk, jiwa sibuk, raga sibuk, mencari kata-kata yang pantas untuk terucap untuk-Mu.

Lagu baru mengalun dalam deras peristiwa, menggeliat dalam-dalam menepikan setiap impian panjang. Malam datang, tanpa suara angin, burung hantu, apalagi suara ibu memanggil. Malam terbebas dalam dunia yang terus memburuku, begitu cepat berlalu, lalu hinggap dalam kebekuan. Masih saja, aku tertidur di pangkuan ibu, meski hanya sebatas asa. 

Batin dan jiwa terus saja dilanda keresahan. Namun, pagi begitu saja datang tiba-tiba dan senja menghadang tak bergejolak. Aku masih saja terhenti pada halte yang sama bulan lalu.

Tiba-tiba aku merasa tertegun membaca rangkaian kata-kata, puisi-puisi terangkai sedalam arti, yang terkadang tak juga aku mengerti. Namun, kesejukannya menghilangkan kejemuan yang begitu tiba-tiba menyapaku. Semua tertegun dan berdiri tegak memandang arah ke depan, meski  jejak kaki tak akan terhenti. Engkau begitu dekat merangkulku dan memelukku begitu dekat. 

Ternyata badanku begitu berat untuk aku bawa terbang. Pijakanku begitu kuat, tak kuasa sayap-sayap itu membawaku menyentuh angkasa. Ragaku tetap kokoh melekap erat di pijakan bumi yang sama. Aku tak bergerak, meski sekuat daya mengepakkan sayap. Seharusnya aku kepakkan sayap-sayap itu lebih kuat. Namun, jiwaku tetap kokoh berpeluk di kerumunan lautan manusia. Aku berteriak untuk compang-campingnya sebuah keadilan. Di sebuah panggung inilah aku berdiri sebagai laki-laki tak berarti. 

Aku tak bergerak, meski sekuat daya mengepakkan sayap. Seharusnya aku kepakkan sayap-sayap itu lebih kuat. Namun, jiwaku tetap kokoh berpeluk di kerumunan lautan manusia. Aku berteriak untuk compang-campingnya sebuah keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun