Rumah. Ketika rumahku menjadi istana, tidak ada kegelapan yang tercipta. Padamnya rasa tak mungkin terus membuntuti luka. Rumahku tetap setia menanti walau seberkas cahaya tak berani memupus duka.
Rumahku kecil, ruang-ruang yang seharusnya memisahkan aku dan anakku tak pernah tercipta. Semua terbuka dan menampakkan kenyataan. Tidak ada perabot berharga, kecuali meja makan dengan empat kursi rapuh yang masih tertahan. Tidak ada listrik karena meteran yang terpasang memang telah dicabut PLN dua tahun lalu. Aku dan anak-anakku hidup dalam ruangan tanpa batas dengan cahaya lilin yang terbatas.Â
Beruntung anakku masih begitu kecil untuk tahu tentang penderitaan. Beruntung istriku yang cantik ini tak begitu banyak keinginan dan selalu menerima apa yang aku punya. Nasi dengan lauk tempe yang terkadang tersedia seolah selalu menjadi harapan hidup bagi kami semua. Namun, anak-anaku tidak pernah lupa untuk disiapkan susu, meski tak teratur. Kegembiraan tampak saat segelas susu dihidangkan dua atau tiga hari sekali. Beruntung, kami tidak pernah merasa miskin, sehingga harapan harus kami kejar, meski belum pernah terkejar.Â
Sebuah keberuntungan, rumah kecil ini aku dapatkan dari pesangon saat badai PHK melanda tempat kerja di istana sebuah kota. Ya, aku adalah seorang tenaga kebersihan yang selalu setia membersihkan istana raja. Aku hanya petugas kebersihan tetapi aku begitu paham bagaimana sang raja hidup dalam kelimpahan harta dan wewenang. Setiap pekerja harus setia, siapapun tak boleh meminta. Setiap pekerja harus menerima apa yang diberi, bekerja apa yang diperintahkan, dan pergi saat diusir. Begitulah, kerajaan seolah menjadi komplotan penjajah yang menjual janji dan omong kosong.
Setiap pekerja harus menerima apa yang diberi, bekerja apa yang diperintahkan, dan pergi saat diusir. Begitulah, kerajaan seolah menjadi komplotan penjajah yang menjual janji dan omong kosong.Â
Istana adalah tempat aku bekerja selama puluhan tahun. Hampir dua puluh tahun kutumpahkan tenaga ini untuk membela dan mengisi sebagian hidupku. Tapi, raja selalu berganti dan perebutan kausa selalu terjadi. Aku terpaksa tersingkir saat sang raja mulai dilanda angkara murka.Â
Semua orang disingkirkan, kerakusan sang raja tak bisa lagi tertahankan. Orang-orang di istana diusir, mereka yang baik terusir karena angkara murka tinggal di istana. Begitulah, tiga tahun lalu, perang dan amarah melanda istana. Kegelapan menghancurkan kedamaian. Semua terusir dari istana saat sang putra mahkota mulai berkuasa. Wafatnya sang raja mengawali kisah angkara murka yang berkuasa. Kebaikan terusir dan aku harus hidup di sebuah gubuk tanpa cahaya.Â
Tangisanku tidak sendiri. Jutaan orang sahabat setia sang raja dilanda kesedihan. Kerajaan berkabung. Seluruh kerajaan berkabung. Bendera hitam terpasang di seluruh negeri. Lampu-lampu yang tadinya begitu terang, tinggal kegelapan. Seluruh kerajaan dilanda kegelapan. Namun, cahaya istana tetap bernyala dan semakin terang benderang menyinari angkasa. Sang raja duduk memandang rakyat jelata yang terus dipenuhi tangisan.
Seluruh kerajaan dilanda kegelapan. Namun, cahaya istana tetap bernyala dan semakin terang benderang menyinari angkasa. Sang raja duduk memandang rakyat jelata yang terus dipenuhi tangisan.