Gerbong. Gerbong-gerbong kereta di pagi buta penuh sesak dan semua pejabat diam tak bicara. Ketika dollar naik tak tertahankan, semua berteriak dan semakin keras berteriak. Apakah roda ekonomi tak sejalan dengan roda para pekerja?Â
Pekerja-pekerja mulai memenuhi berbagai moda transportasi. Aktivitas kembali seperti sediakala, pandemi bukan lagi menjadi monster yang menyeramkan. Ketakutan, kesedihan dan kegalauan harus ditebus. Segala usaha, daya, upaya mempertahan hidup harus dimulai. Bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup harus terus diperjuangan.Â
Normal KembaliÂ
Ketika aktivitas pekerja mulai normal, rutinitas kerja kembali dibuka, berbagai layanan dihidupkan, rasa syukur atas kembalinya kehidupan selayaknya menjadi harapan akan terus pulihnya roda ekonomi Indonesia. Kita seharusnya begitu gembira ketika aktivitas warga  mulai hidup.Â
Pekerja mulai pergi ke kantor, pedagang mulai menggelar dagangannya, kantor-kantor mulai buka, mal-mal yang tadinya asing dan menutup diri mulai menggeliat, pusat-pusat ekonomi menyajikan irama kehidupan yang selalu menyajikan arti perjuangan.Â
Namun, rasa kebanggaan atas perjuangan anak-anak bangsa ini sepertinya hanya menjadi masalah bagi mereka yang tidak menyadari arti mempertahankan kehidupan. Ketika begitu gigihnya pejuang-pejuang ekonomi ini berangkat pagi buta dari berbagai stasiun di Bogor, Bekasi, Tangerang dan sekitarnya, banyak anggapan muncul, masalah itu adalah masalah pribadi mereka yang tidak bisa menyesuaikan waktu dan keadaan. Salah sendiri mereka mau berdesak-desakan dan tak menyesuaikan waktu yang ada.  Kita begitu mudahnya  menutup mata dan  menutup hati, seolah-oleh jutaan pekerja ini tak mempunyai peran apa-apa.Â
Sebagian dari kita mungkin saja belum merasakan bagaimana harus berusaha sekuat tenaga masuk dan keluar gerbong ketika pintu kereta terbuka. Apalagi pekerja-pekerja itu berpuasa. Pemandangan selalu terjadi pada puluhan stasiun kereta di Jakarta, ribuan pekerja ini harus memasuki gerbog-gerbong kereta dan harus mengejar jam kerja.Â
Masuk kereta  tidak mudah, keluar kereta berdesakan dan tak sanggup lagi  melangkahkan kaki.  Di dalam kereta tak bisa bergerak dan napas terasa tersendat.  Padahal,  protokol kesehatan masih saja terus didengungkan.  Menjadi penumpang kereta begitu terperdaya, menjadi penumpang kereta seperti  terpenjara. Â
Kereta memang begitu banyak, tiap sepuluh menit kereta tiba, tetapi jumlah gerbong selalu saja delapan atau sepuluh. Kereta itu tidak bisa menampung kami yang harus bekerja dalam waktu yang sama. Antrean masuk pun tak bisa dihindarkan, bukan hanya di pintu kereta ribuan penunpang siap menjejali kereta. Di peron-peron, menunggu bisa masuk dan terangkut sampai tujuan. Antre dan menunggu kereta yang bisa menampung kami semua.Â