Ruang kelas Kolese Kanisius. Ruang kelas ini tidak begitu luas, tetapi kerapian dan tatanan berbagai macam perlengkapan belajar sungguh membuat kami betah untuk tetap berada di kelas ini selama mungkin. Kelas ini menjadi rumah kami sekaligus tempat kami menempa diri.Â
Tiga puluh lima anak muda selalu duduk rapi saat bel pagi berbunyi. Pukul 06.55 tanda bel pertama berbunyi, dan kami mulai sibuk menata diri dan menyiapkan belajar kami setiap hari. Rutinitas yang terkadang membosankan tetapi juga menggembirakan. Begitu banyak ulangan, kami semua sibuk membuka berbagai buku dan catatan. Namun, saat tidak ada ulangan, kami sibuk berdiskusi tentang berbagai macam pengalaman, entah di rumah atau di tempat lain. Kelas ini menjadi saksi tiga puluh lima anak muda yang berusaha mendewasakan diri.Â
Belajar segera dimulaiÂ
Beberapa saat, guru pengajar jam pertama masuk kelas. Ketua kelas menyiapkan diri. Kami semua berdiri. Salah satu dari kami maju dan mulai memimpin doa pagi. Hari ini, kebetulan awal bulan puasa, beberapa di antara kami beragama Islam dan juga menjalankan puasa. Kebetulan juga petugas doa bergilir hari ini teman muslim kami. Setelah kami berdiri, perlahan rekan kami  mulai mengucapkan doa-doa. Kami berdoa pagi ini dengan cara agama Islam. Kami semua terdiam, mendengarkan, meresapkan dalam hati kami masing-masing, dan mengamini apa yang didoakan.Â
Di kelas kami, meskipun anggota kelas kebanyakan beragaman Katolik, tetapi rekan-rekan kami, ada yang beragama Islam, Hindu, Budha, dan juga ada yang Konghucu. Setiap saat kami pun selalu mengawali pagi dengan doa-doa, dan tidak terbatas dengan cara Katolik atau Kristen. Kami semua berdoa dengan cara kami, dan rekan-rekan yang lain selalu mengikuti dengan khidmat dan penuh syukur. Karena bagi kami, kebersamaan dan toleransi harus kami pupuk. Roh kehidupan kami adalah kebersamaan dan toleransi. Kami sadar bahwa kami semua berbeda, punya keunikan, punya keberbedaan satu sama lain yang harus terus-menerus kami pupuk. Doa pagi adalah cara kami memupuk keberagaman dan semangat toleransi.Â
Membangun nasionalismeÂ
Setelah berdoa, kami tetap diam. Masing-masing mulai menggerakkan tubuh, menghadap bendera Merah Putih di pojok kelas. Bendera itu menjadi identitas kelas dan sekolah kami. Setelah mendengar aba-aba, kami pun menghormat bendera. Begitulah rutinitas setiap pagi yang kami lakukan setelah kami berdoa. Â Kami selalu menghormat bendera. Kami hening sejenak sambil menghormat. Mengenang arti sebuah bendera sebagai lambang perjuangan yang telah dikorbankan oleh pejuang-pejuang kemerdekaan. Kesadaran bahwa kami hidup di alam merdeka yang tidak diperoleh secara gratis dan bendera ini menjadi tanda bahwa anak-anak muda di kelas itu akan melanjutkan perjuangan pendahulu kita dengan cara masing-masing. Dada kami adalah Merah Putih. Â
Setelah penghormatan kepada Bendera Merah Putih, kami memberikan salam kepada guru kami. Kami mulai duduk dan hari itu, kami siap untuk mengikuti proses pembelajaran. Â
Kelas kebersamaan dan toleransi