Di Pesanggrahan itu, raja kecil terjatuh. Pangeran terjatuh. Sang permaisuri bersuka, mengurung duka. Seolah ada kegembiraan, saat raja kecil dan pangeran lunglai tertelah dekap malam. Cintanya bukan saja berakhir, tetapi cerita-cerita tentang sang raja yang menguasai kota dan rakyat tinggal nestapa. Permasisusi diburu rakyat, dicari rakyat, sampai ke ujung dunia. Permaisuri-permaisuri mencoba hidup dalam persembunyian. Rakyat marah, permasuri dianggap biang segala biang, kedukaan istana-istana.Â
Tidak ada yang tersisa di kerajaan singgasana. Raja kecil, pengeran negeri sebarang, dan puluhan permaisuri dilanda duka. Rakyat menghukum pemaisuri, mengusir permaisuri dan menghentakkan luka untuknya. tangisan pecah, menggema di seluruh kota. Hari itu, raja kecil, pangeran negeri seberang dan permaisuri menjadi cerita jutaan rakyat. Kerajaan bumi itu berduka.Â
Ada menjadi pertanda
Raja kecil, pangeran negeri seberang, dan permaisuri tidak sendiri. Puluhan raja kecil, puluhan pangeran, dan puluhan permaisuri bersembunyi di antara keramaian kota dan keheningan desa. Selalu ada pertengkaran abadi, selalu ada permusuhan abadi, selalu ada perang abadi. Diantara jutaan duka menganga, jutaan suka gembira selalu ada dendam yang bertepi. Semuanya menuntut kemerdekaan untuk diri. Kebebasan  abadi dalam diri dan tak akan pernah selesai.Â
Raja kecil menandai kerdil hati yang tersembunyi. Pengeran itu menyakinkan harga diri yang tak berarti. Permaisuri itu menjadi pertanda kedengkian menguasai.Â
Raja-raja kecil akan kembali, seperti pangeran dan permaisuri. Â Ada untuk menjadi cerita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H