Perjalanan jauh, sejauh apapun ternyata begitu terbatas. Dalam waktu yang berbeda segala menyambung sua. Di kelas kecil ruang sekolah itu dulu hidup belulang muda perkasa. Kini, hadirkan kembali kisah seonggok tulang dalam ruang yang sama. Kami sudah begitu tua.Â
Reuni, perjumpaan sekejap untuk mengenang peristiwa tak terlupa. Peristiwa-peristiwa tak terlupa dihadirkan dalam berbagai rasa yang tak terkira. Setelah sekian lama berjalan jauh dengan segala tujuan, berharap setiap peristiwa dapat diceritakan, kepada teman, kawan dan mantan pacar.Â
PR dan kantin kitaÂ
Ketika itu, tidak ada yang membuat terluka. Dalam kelas yang sama selalu bisa saja tertawa. Ketika PR tiba, satu kelas mencoba belajar bersama, meskipun hanya satu orang yang bisa bekerja. Dia terpercaya, dia yang selalu didambakan. Yang mencoba bertanya dan membuat yang bisa kadang tertawa. Hari-hari penuh dengan pekerjaan rumah, meski tidak selalu selesai di rumah. Kantin selalu jadi media rapat satu kelas.Â
Masa itu, segala peristiwan terjadi begitu biasa. Tidak ada yang istimewa. Beban selalu ada bukan hanya PR. Masih terngiang begitu galak guru matematika. Tidak bisa menyelesaikan, berdiri di depan kelas sambil menutup mata. Jam-jam kosong selalu ada, karena guru jauh dan terkadang angkutan kota tiba-tiba tiada, apalagi jalan terkadang tak bisa dilewati; tergenang air, sering tergelang banjir.Â
Tugas itu selalu menjadi cara kami saling berbagi. Tugas masa itu menjadi cara kami menyentuh hati. Perjalanan setiap hari penuh cerita dan arti.Â
Setelah perpisahan itu, kami tidak pernah tahu kemana anak-anak di kelas ini pergi. Kami tidak tahu, menjadi apa penghuni kelas ini. Kami pergi dengan jalan dan cara yang bisa. Sejauh kami berlari, sejauh kami mencari jati diri. Jauh, kami mulai tak saling memberi.Â
Si tua bersua
Menghadirkan kembali masa itu, menghadirkan kembali perjalanan bisu. Ketika perlahan satu per satu mulai tiada menghadap yang Esa, kami mencoba menghadirkan kenangan abu-abu. Karena tenaga-tenaga kami sudah terkuras dan menjelma menjadi kulit keriput, rambut tiada, dan sebagian memutih bahkan hampir rata. Â Perjumpaan teman SMA terasa begitu sulit terlaksana. Tanpa sebuah aksi nyata, impian berjumpa hanya sepenggal asa.Â
Kami kini sudah begitu tua. Sebagian di atas 90 tahun. Sebagian antara 85 sampai 90 tahun. Kami kini tinggal 80 wanita dan pria keriput tanpa daya. Kami berjalan dengan tongkat, sebagian dengan kursi roda, dan harus ditemani cucu-cucu setia. Mendengan terkadang adalah sebuah usaha luar biasa, semua menjadi tidak begitu jelas. Kami kini menjadi seonggoh tulang yang tak lekang termakan usia.Â
Perjumpaan ini begitu menguatkan kami. Ketika seonggoh tulang tanpa arti mencoba bersatu kembali dalam sebuah ruang kecil, kelas kami berpuluh-puluh tahun lalu masih begitu bersih, Â menjadi saksi bahwa kami pernah duduk di sini, pernah belajar di ruang ini, pernah di hukum guru-guru kami di sudut ruang, pernah berbuat nakal pada guru-guru baru kami.Â