Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Laki-Laki Pemukul Gong

24 Januari 2023   22:09 Diperbarui: 24 Januari 2023   22:15 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Gong. Seorang lelaki pemukul gong terdiam di depan sebuah gong. Ia melamun, terdiam, tatapan tajam menjulur, menerawang angkasa nan jauh. Tiba-tiba tangannya bergerak. Seketika gong di depannya dipukul. Suara menggelegar merambat sampai ujung stasiun kecil, Tambun. 

Suara gong itu menandai hari telah tiba dan begitu banyak manusia mulai lalu lalang di antara berbagai kehidupan yang tiada akan habisnya. Di kota ini tidak ada lagi suara kokok ayam jantan di pagi buta. Tidak ada nyanyian burung mendecit di antara pepohonan. Suara gong itu menggantikan kokok ayam yang mulai sirna tertelan zaman.  Lelaki itu menandai setiap waktu yang dia suka, menandai segala gerak yang menggurita. 

Lelaki itu tetap berdiri tak tergoyakkan di depan gong yang mulai usang. Dua tahun lalu harapannya sirna, ketika cinta tak menyatukannya seperti mimpinya saat remaja. Berlalu dan terus berlalu, tetapi masa lalu tak mungkin berlalu. Seolah membuatnya luka dan harus terdiam dalam setiap irama kehidupan. Mengingatkan setiap orang lalu-lalang mengejar kehidupan dan langkah zaman. Di depan stasiun itu semua berlalu dan semua berakhir. Cintanya seperti butiran air mata, jatuh terhempas karena sapu tangan. 

Suara kedua

Lelaki itu tiba-tiba terlihat menggerakkan badannya. Mukanya tak menampakkan sedikit pun kesedihan atau keputusasaan. Tangannya bergerak, dan seketika dipukulnya gong di depannya. Dua kali pukulan itu, akhirnya membuat sekelilingnya terkaget. Bagi yang biasa lewat, jam 07.00 suara itu selalu ada. Dua kali pukulan gong membuat manusia-manusia sekeliling yang mulai memasuki stasiun itu mempercepat langkahnya. Waktu mulai siang, dan pekerja-pekerja harus cepat mengejar kereta agar tidak terlambat atau ada potongan upah. 

Lelaki itu mengingatkan ribuan pekerja secepat mengejar kereta, secepat langkah pasti menuju peron stasiun kereta. Lelaki itu menjadi pertanda, kehidupan jutaan pekerja tergantung pada jam dan jalur kereta. Terlambat bekerja, terlambat kehidupan berikutnya. 

Laki-laki pemukul gong tetap terdiam. Di depannya, sebuah gong, warna kuningan mulai luncur menjadi kehitaman. Pemukul tetap dipegangnya agar tidak  anak-anak tidak merebut, mencuri dan mempermainkan gong itu. Sekuat tenaga dipegangnya pemukul itu. Ia tidak ingin terulang, tahun lalu, ketika ia sebenat terpejam, anak-anak mengambil pemukul dan tiba-tiba memukul gong itu berulang-ulang. Seketika kereta pun merasa terluka dan menabrak mobil penyeberang. 

Lelaki itu begitu kuat memegang pemukul gong. Tidak ingin terulang kecelakaan kereta karena pemukul itu dipermainkan di tangan anak-anak. Ia seolah merasa berdosa. Lelaki itu selalu memegang pemukul dengan kuat tak terampas, siapapun juga. 

Bermenit-menit, berjam-jam, lelaki itu memegang pemukul gong, di depan sebuag gong. Seperti patung, terdiam tak berberak. Di depannya sudah ratusan atau ribuan orang lalu lalang. Bergerak tak karuan dengan berbagai keperluan. Lelaki itu tetap setia menunggu gong. 

Manusia-manusia lalu lalang. Sepeda-sepeda hilir mudik. Motor silih berganti masuk stasius kecil. Pemukul gong itu tetap di tempat dengan napas yang sebentar terlihat tersengal-sengal. 

Suara ketiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun