Kerja di rumah? Murah. Enak. Hemat. Irit. No capek. No biaya. Begitulah, kerja di rumah hemat tanpa batas. Tabungan pasti berlimpah. Dekat dengan keluarga. Tak perlu jajan dan pergi kemana-mana. Kerja di rumah menjanjikan hasil tanpa batas, meski dalam ruang terbatas.Â
Pandemi dalam dua tahun ternyata telah mengubah paradigma. Bukan hanya tentang jenis pekerjaan, bermacam pilihan, tetapi juga soal cara  bekerja dan menghasilkan cuan. Bahwa bekerja tidak harus dimulai dari pagi sampai senja hari. Bekerja tidak harus berlarian mengejar matahari terbit dan menunggu matahari terbenam. Bekerja tidak harus 8 jam sesuai aturan undang-undang.Â
Definisi pekerja selalu dikaitkan dengan bagaimana menghasilkan uang dengan keluar rumah, meninggalkan kaluarga, meninggalkan anak-istri. Bahkan dalam budaya tertentu, terkadang muncul anggapan; ketika kita bangun siang, rezeki akan disambar orang. Maka, bekerja sebelum ayam berkokok seolah memberikan nyanyian istimewa pada berjuta-juta pekerja.Â
Waktu terbatas dalam kerja
Apalagi lembur dianggap sebagai cara bekerja dalam batas hasil yang tak terbatas. Lembur larut malam, lembur tanpa batas jam. Tidak terasakan sampai pagi buta. Kehidupan pekerja berjalan dalam waktu yang begitu cepat dan di kantor dalam ruang-ruang yang tersekat-sekat. Menjadi pekerja kantor adalah bekerja di kantor.
Pandemi telah menyihir segalanya. Sampai begitu banyak anak muda yang mengubah cara dan karya. Bahwa bekerja itu yang penting menghasilkan karya dan cuan. Pilihan bekerja dari rumah menjadi nilai berharga. Hemat waktu dan dana dalam segala hal. Lalu, menghapa harus bersusah payah ke kantor jika segalanya bisa tanpa upaya.Â
Ketika kerja dari rumah, kapanpun bisa bekerja, berkarya. Bisa bekerja tanpa meja, bahkan di sofa. Bisa bekerja sambil memasak. Bisa bekerja sambil menyusui si kecil. Bisa bekerja sambil nonton drama korea. Bisa bekerja dengan pekerjaan lain yang menghasilkan berjuta-juta dana. Kita bisa bekerja tidak hanya dalam satu usaha atau lembaga.Â
Begitu mudah cara bekerja di masa kini. Meski kemudahan itu pada akhirnya harus ditebus beragam peristiwa. Kita tidak pergi ke kantor, tanpa berjalan, tanpa mengejar bus atau kereta. Jika di rumah tanpa olah raga, siap-siap saja badan mulai melar tak dinyana.Â
Ketika aktivitas terbatas dalam sekat rumah, niscaya akan hadir kebosanan, semakin minimnya rasa sosial. Apalagi dalam seluruh hari hanya terkungkung dalam kamar rumah. Perasaan tajam perlahan tumbul tak tertera. Rata sosial, empati, simpati, menjadi nilai yang bisa hadir tak pasti.Â
Ekonomi bersama
Bekerja di rumah memang menjadi cara memecahkan berbagai persoalan kota. Kemacetan bisa saja terkurangi. Desak-desakan tidak akan terjadi lagi. Bus bisa saja kosong, kereta bisa saja tanpa penumpang. Kendaraan-kendaraan akan terasa sepi tanpa penghuni.Â
Namun, seiring perjalanan waktu, bisa saja ekonomi terhenti. Pedagang tanpa pembeli. Ojek tanpa penumpang. Bus mati suri. Kereta ditinggal pergi. Sepi, sepi itu bisa datang dapang dalam berbagai kesempatan. Ekonomi bisa mati. Ini mungkin bukan karena pandemi lagi. Kita terhenti untuk kedua kali.Â
Semoga saja sebuah pilihan ini tidak mengharuskan setiap melakukan keputusan yang sama. Tidak setiap orang harus WFH, tidak setiap orang harus WFO. Kita bisa saja bekerja dari rumah. Kita bisa saja bekerja dari kantor. Dimanapun kita bekerja, sebenarnya kita tidak hanya menghasilkan cuan untuk diri. Sebagian hasil bisa saja kita bagi; untuk pedagang, untuk tukang ojek, untuk kondektur, untuk supir, untuk berjuta-juta tenaga yang tergantung pad toko online.Â
Menjadi pekerja adalah menjadi pejuang. Ketika kita bekerja di kantor, berjuta orang menggantungkan pada kita. Ketika kita bekerja dari rumah pun begitu banyak orang menggantungkan kita. Â Upaya diri untuk bekerja dimanapun, jangan sampai menghentikan mereka yang terlanjur berharap pada kita yang tiba-tiba tidak ada.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H